Badan Usaha Milik Negara (BUMN) merupakan entitas ekonomi strategis yang memegang peranan penting dalam pembangunan nasional dan penyelenggaraan kesejahteraan umum sebagaimana diamanatkan dalam Pasal 33 ayat (2) dan (3) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 (UUD 1945). Dalam kerangka tersebut, pengelolaan BUMN seyogianya tunduk pada prinsip-prinsip akuntabilitas, transparansi, dan tanggung jawab sosial. Namun, perkembangan regulasi terbaru menimbulkan kekhawatiran akan pelemahan fungsi pengawasan dan pengendalian terhadap BUMN, khususnya dalam konteks pemberantasan tindak pidana korupsi.
Pada awal tahun 2025, Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) dan pemerintah telah mengesahkan Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2025 tentang Perubahan Kedua atas Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2003 tentang Badan Usaha Milik Negara. Salah satu klausul yang paling krusial dan kontroversial ialah Pasal 4B, yang menyatakan bahwa keuntungan atau kerugian BUMN bukan merupakan keuntungan atau kerugian negara, melainkan semata-mata milik BUMN. Klausul ini secara langsung menggeser posisi hukum kekayaan BUMN dari rezim hukum publik ke rezim hukum privat.
Lebih lanjut, perubahan regulasi dalam Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2025 tentang Badan Usaha Milik Negara (UU BUMN) membawa dampak ketidakpastian hukum yang serius. Dalam Pasal 4B UU BUMN tersebut, secara eksplisit dinyatakan bahwa keuntungan atau kerugian yang dialami BUMN bukan merupakan keuntungan atau kerugian negara, melainkan sepenuhnya menjadi milik BUMN. Ketentuan ini secara nyata menggeser status hukum kekayaan BUMN dari ranah hukum publik menjadi ranah hukum privat.
Akibatnya, apabila ditemukan penyelewengan dana dalam pengelolaan BUMN, maka sangat sulit untuk memastikan apakah tindakan tersebut dapat dikualifikasikan sebagai tindak pidana korupsi atau penggelapan dana. Sebab, menurut Pasal 3H ayat (2) UU BUMN yang baru, kerugian BUMN tidak lagi dianggap sebagai kerugian negara. Sementara itu, definisi tindak pidana korupsi menurut Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 jo Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi mensyaratkan adanya kerugian keuangan negara atau kekayaan negara. Oleh karena itu, jika kerugian BUMN tidak dianggap sebagai kerugian negara, maka unsur kerugian negara yang menjadi dasar pengenaan tindak pidana korupsi menjadi hilang.
Di sisi lain, penggelapan dana juga tidak mudah diterapkan karena sebagian besar modal dan aset BUMN merupakan Penyertaan Modal Negara (PMN) yang bersumber dari Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN). Hal ini mengacu pada ketentuan yang menyatakan bahwa negara memberikan PMN kepada BUMN sebagai modal usaha, yang secara substansial berarti sebagian besar kekayaan BUMN berasal dari kekayaan negara. Menurut Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2004 tentang Perbendaharaan Negara, khususnya Pasal 1 angka 22, kerugian negara termasuk kerugian yang dialami oleh BUMN akibat tindakan melawan hukum. Dengan demikian, penggelapan dana dalam BUMN sebenarnya masih berkaitan erat dengan keuangan negara, namun secara yuridis menjadi kabur akibat pasal-pasal baru yang menyatakan BUMN bukan bagian dari penyelenggara negara (Pasal 9G UU BUMN 2025).
Secara historis, sejak diberlakukannya Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2003 tentang Keuangan Negara, kekayaan negara yang dipisahkan, termasuk kekayaan BUMN, tetap dikategorikan sebagai bagian dari keuangan negara dalam konteks pengawasan dan akuntabilitas. Pengertian kerugian negara sebagaimana dimuat dalam Pasal 1 angka 22 Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2004 tentang Perbendaharaan Negara juga mencakup kerugian yang dialami oleh BUMN akibat tindakan melawan hukum, baik sengaja maupun karena kelalaian. Konstruksi hukum tersebut diperkuat oleh Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 48/PUU-XI/2013, yang menegaskan bahwa meskipun kekayaan BUMN telah dipisahkan dari APBN, sifatnya sebagai kekayaan negara tetap melekat, sehingga kerugian BUMN tetap dapat dikategorikan sebagai kerugian negara dalam konteks tindak pidana korupsi. Dalam kerangka inilah, aparat penegak hukum seperti Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK), Kejaksaan, dan Kepolisian memiliki legitimasi untuk menindak penyimpangan dalam pengelolaan keuangan BUMN.
Namun, dengan hadirnya Pasal 4B Undang-Undang BUMN hasil revisi 2025, serta diperkuat oleh Pasal 9G yang menyatakan bahwa pengurus dan karyawan BUMN bukanlah penyelenggara negara, maka landasan hukum bagi penegakan tindak pidana korupsi dalam tubuh BUMN menjadi kabur. Jika kekayaan BUMN tidak lagi dianggap sebagai kekayaan negara, dan pejabat BUMN bukanlah penyelenggara negara, maka kedudukan hukum mereka menjadi setara dengan pejabat perusahaan swasta biasa. Konsekuensinya, perbuatan melawan hukum yang sebelumnya dapat dikualifikasikan sebagai tindak pidana korupsi, kini hanya bisa dituntut secara perdata atau administratif.
Dampak konkret dari perubahan ini sangat signifikan. Sebagai contoh, kasus dugaan manipulasi laporan keuangan di PT Pupuk Indonesia yang menyebabkan kerugian sebesar Rp8,3 triliun dapat menjadi tidak relevan lagi sebagai objek penyidikan oleh KPK. Sebab berdasarkan Pasal 3H ayat (2) Undang-Undang BUMN yang baru, kerugian tersebut tidak dapat dikualifikasikan sebagai kerugian negara, melainkan semata-mata sebagai kerugian korporasi. Hal ini mengindikasikan adanya dekonstruksi tanggung jawab publik dalam pengelolaan BUMN yang justru mengandung potensi pelemahan upaya pemberantasan korupsi.
Perubahan status hukum BUMN ini juga patut dipertanyakan dari perspektif tujuan hukum. Jika negara masih menyuntikkan PMN ke dalam BUMN dari APBN, maka secara substantif, kekayaan tersebut tetap merupakan kekayaan publik. Mengesampingkan pengawasan publik terhadap entitas yang dibiayai oleh uang rakyat jelas bertentangan dengan asas pembentukan peraturan perundang-undangan yang baik, terutama asas keterbukaan dan akuntabilitas sebagaimana diatur dalam Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan. Lebih lanjut, perubahan ini juga dapat membuka ruang praktik impunitas bagi elite bisnis-politik yang selama ini menjadikan BUMN sebagai instrumen rente ekonomi. Dalam praktiknya, banyak kasus penyalahgunaan wewenang di BUMN yang melibatkan politisi dan kroni penguasa. Dengan dilucutinya status publik BUMN, maka penegakan hukum menjadi tumpul, dan publik kehilangan instrumen untuk menuntut pertanggungjawaban.
Revisi Undang-Undang BUMN yang diundangkan melalui Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2025 menandai pergeseran paradigma dalam pengelolaan kekayaan negara. Alih-alih memperkuat transparansi dan integritas BUMN sebagai alat pembangunan nasional, perubahan ini justru menciptakan celah hukum yang dapat dimanfaatkan oleh oknum tidak bertanggung jawab untuk menghindari jerat hukum. Perubahan status hukum kekayaan BUMN menjadi kekayaan privat, serta pengecualian pengurus BUMN dari kategori penyelenggara negara, secara nyata berpotensi melemahkan pemberantasan korupsi dan mengaburkan akuntabilitas publik.
Oleh karena itu, diperlukan evaluasi komprehensif terhadap implikasi jangka panjang dari undang-undang ini. Jika BUMN tetap diposisikan sebagai agen pembangunan dan perpanjangan tangan negara, maka kekayaan dan aktivitasnya harus tetap berada dalam ranah hukum publik. Tanpa itu, negara justru kehilangan kontrol atas instrumen strategis yang seharusnya menjadi pilar kedaulatan ekonomi nasional.
0 Komentar