Sistem
pemilihan umum di Indonesia telah mengalami berbagai dinamika pasca-reformasi,
salah satu perubahan fundamental adalah penerapan model keserentakan. Evolusi
desain keserentakan pemilu ini mencapai puncaknya dengan diberlakukannya model
“lima kotak suara” pada pemilu 2019 dan 2024. Desain ini, yang mengintegrasikan
pemilihan Presiden dan Wakil Presiden, anggota Dewan Perwakilan Rakyat (DPR),
Dewan Perwakilan Daerah (DPD), Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD)
kabupaten/kota dalam satu hari pemungutan suara, merupakan amanat dari Putusan
Mahkamah Konstitusi (MK) Nomor 14/PUU-XI/2013. Tujuan awal dari keserentakan
ini adalah untuk memperkuat sistem presidensial dengan memastikan koherensi
antara eksekutif dan legislatif di tingkat nasional.
Namun, implementasi keserentakan penuh ini tidak luput dari
berbagai problematika yang menjadi refleksi dan tantangan serius dalam
penyelenggaraan pemilu. Salah satu isu krusial yang teridentifikasi adalah
beban kerja yang sangat berat bagi penyelenggara pemilu, terutama petugas di
Tempat Pemungutan Suara (TPS). Adanya "impitan tahapan" atau tahapan
yang berhimpitan antara pemilu nasional dan pemilihan kepala daerah (pilkada)
menyebabkan "tumpukan beban kerja penyelenggara pemilu" yang
berpotensi menimbulkan "kelelahan petugas di TPS" dan pada akhirnya
"menurunkan kualitas penyelenggaraan pemilu". Data konkret
menunjukkan dampak kemanusiaan yang tragis, dengan 894 petugas ad hoc meninggal
pada Pemilu 2019 dan 289 orang pada Pemilu 2024, mengindikasikan beban kerja
yang tidak manusiawi. Selain itu, keserentakan juga dianggap mempengaruhi
pelembagaan partai politik dan menggeser fokus pembangunan daerah, yang
cenderung tenggelam oleh isu-isu nasional.
Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 135/PUU-XXII/2024, yang
diumumkan pada 26 Juni 2025, hadir sebagai respons fundamental terhadap
permasalahan keserentakan pemilu tersebut. Putusan ini membagi penyelenggaraan
pemilu secara nasional dan daerah, dengan tujuan "mengoptimalkan hal-hal
ideal dalam pemilu, baik dari sisi pengaturan waktu, desain keserentakan,
maupun desain penyelenggaranya". Komisi Pemilihan Umum (KPU) sendiri
menyambut baik putusan ini, mengapresiasinya sebagai "langkah menuju
pemilu yang lebih ideal" dan upaya untuk "memperkuat kualitas
pemilu". Keputusan ini menunjukkan bahwa intervensi yudisial dapat menjadi
bentuk reformasi sistemik, terutama ketika dihadapkan pada kegagalan sistem
yang memiliki konsekuensi kemanusiaan yang signifikan. Mahkamah, dalam hal ini,
bertindak untuk memperbaiki sistem yang terbukti tidak berkelanjutan dan
memakan korban jiwa, menyoroti kecenderungan pengadilan konstitusi untuk
mengambil peran lebih aktif dalam mengatasi disfungsi sistemik yang berdampak
pada hak-hak fundamental.
Putusan MK No. 135/PUU-XXII/2024 berakar dari permohonan uji
materiil yang diajukam oleh Yayasan Perkumpulan untuk Pemilu dan Demokrasi
(Perludem) permohonan ini secara spesifik menggugat sistem pemilu serentak
"lima kotak suara" sebagaimana diatur dalam Undang-Undang (UU) Pemilu
dan UU Pilkada. Pemohon berpendapat bahwa model tersebut melemahkan pelembagaan
partai politik, menghambat penyederhanaan sistem kepartaian, serta menurunkan
kualitas kedaulatan rakyat dan profesionalitas penyelenggara pemilu. Namun,
putusan MK yang memisahkan jadwal pemilu nasional dan pemilu daerah justru
memunculkan sejumlah persoalan baru yang kompleks.
Pertama, putusan ini dinilai berpotensi melanggar Pasal 22E
Undang-Undang Dasar 1945 (UUD 1945) yang mengamanatkan pemilu untuk DPR, DPD,
DPRD, Presiden, dan Wakil Presiden dilaksanakan setiap lima tahun sekali.
Kritik juga muncul atas inkonsistensi Mahkamah karena sebelumnya melalui
putusan serentak, MK justru menegaskan integrasi waktu pemilu.
Kedua, pemisahan jadwal dapat menyebabkan desinkronisasi
antara pemerintah pusat dan daerah, yang berdampak pada efektivitas pelaksanaan
kebijakan strategis nasional akibat perbedaan afiliasi politik di tiap tingkat
pemerintahan. Ketiga, alasan bahwa pemisahan waktu memberi ruang kaderisasi
partai juga dipertanyakan. Bukti empiris menunjukkan tidak ada hubungan
langsung antara panjangnya jeda waktu dengan kualitas rekrutmen politik.
Sebaliknya, hal ini dapat memperkuat praktik patronase dan transaksi politik di
kalangan elite partai.
Keempat, putusan ini memunculkan risiko kekosongan jabatan
legislatif daerah, terutama menjelang 2029, karena belum adanya regulasi
transisi yang mengatur masa jabatan hasil pemilu 2024. Situasi ini rawan
disalahgunakan dan menciptakan sentralisasi kekuasaan melalui penunjukan
pejabat kepala daerah yang rentan intervensi politik.
Kelima, putusan ini menimbulkan perdebatan tajam mengenai
peran MK sebagai "positive
legislator". Dengan memutus secara langsung desain waktu
penyelenggaraan pemilu, MK dinilai telah melampaui kewenangan konstitusionalnya
sebagai penguji norma, dan justru bertindak layaknya pembentuk undang-undang.
Hal ini menciptakan ambiguitas fungsi lembaga yudikatif dan dapat mengganggu
keseimbangan kekuasaan dalam sistem demokrasi konstitusional Indonesia. Dengan
demikian, meskipun putusan ini dimaksudkan sebagai solusi atas persoalan
sebelumnya, kenyataannya justru menciptakan tantangan baru yang tak kalah
serius dan perlu ditangani dengan hati-hati secara hukum maupun kelembagaan.
Penting untuk dicatat bahwa Putusan MK Nomor 14/PUU-XI/2013
merupakan putusan yang sebelumnya menegaskan desain pemilu serentak, yang
kemudian menjadi dasar pembentukan UU No. 7 Tahun 2017. Kehadiran Putusan MK
Nomor 135/PUU-XXII/2024 menunjukkan adanya perubahan arah interpretasi MK
terkait keserentakan pemilu. Kontras antara kedua putusan ini menyoroti sifat
dinamis dan evolutif dari interpretasi konstitusi. Interpretasi terhadap
ketentuan konstitusional, bahkan yang tampak jelas seperti "setiap lima
tahun sekali" dalam Pasal 22E, bukanlah hal yang statis. Evolusi ini
mencerminkan perubahan kebutuhan masyarakat, tantangan praktis, dan, mungkin,
komposisi serta kecenderungan yurisprudensial Mahkamah itu sendiri. Perubahan
ini, meskipun memungkinkan adaptasi hukum, juga dapat menimbulkan
ketidakpastian hukum dan pertanyaan mengenai prediktabilitas kerangka hukum
yang mengatur proses demokrasi fundamental. Ini menegaskan bahwa hukum
konstitusi adalah instrumen yang hidup, namun dinamismenya juga dapat menjadi sumber
perdebatan dan tantangan terhadap kepastian hukum.
Putusan MK Nomor 135/PUU-XXII/2024 mencerminkan upaya
korektif terhadap kompleksitas penyelenggaraan pemilu serentak yang selama ini
menimbulkan beban teknis dan kemanusiaan. Dalam permohonan yang diajukan oleh
Perludem, pemohon menekankan bahwa keserentakan lima kotak suara telah
menurunkan kualitas demokrasi substantif, memperlemah kelembagaan partai, dan
membebani penyelenggara. Namun, putusan MK yang memisahkan waktu pelaksanaan
pemilu nasional dan daerah justru menciptakan problem baru, khususnya dalam
aspek transisi kekuasaan dan sinkronisasi sistem pemerintahan. Kasus ini juga
menggarisbawahi persoalan kelembagaan MK, karena perubahan tafsir yang
signifikan dari putusan sebelumnya menimbulkan pertanyaan akan konsistensi
yurisprudensi. Terlebih, MK tidak hanya menyatakan norma bertentangan dengan
UUD, tetapi sekaligus merumuskan desain waktu penyelenggaraan pemilu ke depan,
yang memicu kritik atas peran Mahkamah sebagai "positive legislator".
Secara konstitusional, putusan ini dipersoalkan karena
dianggap bertentangan dengan Pasal 22E UUD 1945 yang mengatur pemilu
diselenggarakan setiap lima tahun untuk seluruh tingkatan. Kritik dari
tokoh-tokoh politik seperti Ahmad Muzani (Gerindra) dan perwakilan NasDem
menggarisbawahi adanya ketidaksesuaian antara isi putusan dan amanat konstitusi
serta menunjukkan inkonsistensi MK terhadap putusan sebelumnya yang justru
mewajibkan pemilu serentak. Dalam aspek politik, pemisahan jadwal pemilu
dinilai berisiko menciptakan desinkronisasi antara pemerintah pusat dan daerah.
Kepala daerah terpilih bisa jadi berasal dari jalur atau partai yang berbeda
dengan Presiden, sehingga menghambat implementasi kebijakan strategis nasional
akibat fragmentasi loyalitas politik dan lemahnya koordinasi lintas level
pemerintahan.
Selain itu, alasan MK bahwa jeda waktu pemilu memberi ruang
untuk kaderisasi politik juga dipertanyakan. Secara empiris, panjangnya masa
jeda tidak menjamin peningkatan kualitas rekrutmen politik, melainkan membuka
ruang lebih luas bagi elite partai untuk melakukan negosiasi transaksional yang
memperkuat patronase, sebagaimana dijelaskan dalam teori oligarki oleh Robert
Michels. Putusan ini juga menghadirkan persoalan serius terkait masa transisi,
karena belum ada kejelasan hukum soal status jabatan DPRD yang masa baktinya
habis pada 2029, berpotensi menciptakan kekosongan kekuasaan dan membuka ruang
intervensi politik dalam penunjukan penjabat. Pengalaman sebelumnya menunjukkan
bahwa penunjukan Pj Kepala Daerah cenderung mengabaikan prinsip demokrasi lokal
dan justru memperkuat sentralisme kekuasaan.
Argumen Mahkamah mengenai kejenuhan pemilih dan kelelahan
penyelenggara juga menuai kritik. Data partisipasi pemilih pada Pemilu 2024
justru meningkat hingga 82%, menandakan antusiasme publik yang tetap tinggi.
Kejenuhan politik diyakini lebih berkaitan dengan rendahnya kualitas substansi
politik, bukan soal frekuensi pemilu. Sementara beban kerja penyelenggara
memang perlu ditangani serius, solusinya bukan semata-mata memisahkan jadwal
pemilu, melainkan memperkuat kelembagaan pemilu, meningkatkan pendidikan
politik, dan mewujudkan keadilan fiskal antara pusat dan daerah.
Putusan ini berdampak langsung pada desain pemerintahan
daerah dan kualitas demokrasi elektoral. Pemisahan jadwal pemilu menciptakan
kekosongan jabatan kepala daerah selama dua tahun sebelum pelantikan serentak
pada 2027. Penunjukan Penjabat (Pj.) dalam skala nasional dan jangka waktu yang
panjang membuka ruang intervensi politik pusat, yang berpotensi melemahkan
prinsip demokrasi lokal dan otonomi daerah. Ketiadaan regulasi transisi yang
spesifik dan menyeluruh mengenai masa jabatan Pj., mekanisme evaluasi, dan
akuntabilitas kinerja semakin memperparah situasi ini.
Selain itu, pemisahan pemilu dapat memperkuat fragmentasi
politik antara pemerintah pusat dan daerah. Perbedaan afiliasi politik antara
kepala daerah dan Presiden bisa menurunkan efektivitas koordinasi kebijakan
strategis nasional, serta meningkatkan potensi konflik kepentingan dalam
pelaksanaan program pembangunan lintas sektor. Desentralisasi yang tidak
ditopang oleh sinkronisasi politik dan administratif justru dapat menjadi
hambatan dalam tata kelola pemerintahan yang efektif. Dari sisi kualitas
demokrasi, anggapan bahwa pemisahan waktu akan mendorong kaderisasi partai
belum terbukti secara empiris. Justru, terdapat kecenderungan penguatan
dominasi elite partai dan praktik patronase dalam proses pencalonan. Hal ini
mengindikasikan bahwa perubahan desain pemilu tidak serta-merta memperbaiki
kualitas demokrasi tanpa reformasi kelembagaan yang lebih dalam.
Sebagai tindak lanjut atas Putusan MK Nomor 135/PUU-XXII/2024, diperlukan langkah strategis untuk mengatasi dampak hukum dan tata kelola yang ditimbulkan. Pemerintah, DPR, dan penyelenggara pemilu perlu segera menyusun regulasi transisi yang mengatur masa jabatan dan penunjukan Penjabat (Pj.) Kepala Daerah secara akuntabel dan terbatas waktunya. Di saat yang sama, sinkronisasi antara pusat dan daerah dapat diperkuat melalui forum koordinasi dan insentif kebijakan. Reformasi partai politik juga menjadi krusial, dengan memperkuat kaderisasi dan menindak praktik transaksional. Dari sisi teknis, pemilu terpisah membutuhkan perencanaan logistik yang lebih realistis, pemanfaatan teknologi digital, serta perlindungan bagi petugas lapangan. Terakhir, pembatasan kewenangan MK sebagai positive legislator perlu dikaji melalui revisi undang-undang, disertai evaluasi berkala dan edukasi publik untuk menjaga kualitas demokrasi ke depan.
Referensi:
Anggi Muliawati. ( 2025, Juli 04). KPU: Survei Tunjukkan Kejenuhan Politik Saat
Pilkada-Pemilu di Tahun yang Sama. Diakses melalui https://news.detik.com/berita/d-7995310/kpu-survei-tunjukkan-kejenuhan-politik-saat-pilkada-pemilu-di-tahun-yang-sama Pada hari Minggu, 06 Juli 2025 Pukul 10.50 WIB
Musonif Afandi. ( 2025, Juli 05). Memisahkan Pemilu: Penguatan Demokrasi atau
Manuver Struktural. Diakses melalui https://news.detik.com/kolom/d-7996157/memisahkan-pemilu-penguatan-demokrasi-atau-manuver-struktural Pada hari Minggu, 06 Juli 2025 Pukul 10.55 WIB
ANTARA. ( 2025, Juli 01). Putusan MK soal pemisahan pemilu masih dalam
tugas konstitusional. Diakses melalui https://www.antaranews.com/berita/4935593/putusan-mk-soal-pemisahan-pemilu-masih-dalam-tugas-konstitusional Pada hari Minggu, 06 Juli 2025 Pukul 11.10 WIB
Dr. Nanang Al Hidayat, S.H., M.H. ( 2025, Juli 02).
Mahkamah Konstitusi dari Negatif Legislator Menjadi Positif Legislator (studi
kasus Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 135/PUU-XXII/2024). Diakses melalui https://iaksetihsetio.ac.id/mahkamah-konstitusi-dari-negatif-legislator-menjadi-positif-legislator-studi-kasus-putusan-mahkamah-konstitusi-nomor-135-puu-xxii-2024/ Pada
hari Minggu, 06 Juli 2025 Pukul 11.20 WIB
Muhammad Iqbal Amar
& Ahmad Naufal Dzulfaroh. (2025, 29 Juni). MK Putuskan Pemilu Nasional dan
Daerah Dipisah, Apa Dampaknya? Diakses melalui
https://www.kompas.com/tren/read/2025/06/29/170000765/mk-putuskan-pemilu-nasional-dan-daerah-dipisah-apa-dampaknya-?page=all Pada hari Sabtu, 05 Juli 2025 Pukul 23.30 WIB
Dewan Perwakilan Rakyat Republik
Indonesia - Komisi III. (2025, 5 Juli). Putusan MK Terbaru Tentang
Pemilu Timbulkan Dilema Konstitusional. Diakses melalui JDIH DPR RI https://jdih.dpr.go.id/berita/detail/id/57398/t/Putusan%2BMK%2BTerbaru%2BTentang%2BPemilu%2BTimbulkan%2BDilema%2BKonstitusional pada hari Minggu, 06 Juli 2025 Pukul 00.13 WIB
0 Komentar