REVOLUSI DESAIN PEMILU INDONESIA: KAJIAN KRITIS PUTUSAN MAHKAMAH KONSTITUSI NOMOR 135/PUU-XXII/2024 TENTANG PEMISAHAN PEMILU NASIONAL DAN DAERAH

 


    Sistem pemilihan umum di Indonesia telah mengalami berbagai dinamika pasca-reformasi, salah satu perubahan fundamental adalah penerapan model keserentakan. Evolusi desain keserentakan pemilu ini mencapai puncaknya dengan diberlakukannya model “lima kotak suara” pada pemilu 2019 dan 2024. Desain ini, yang mengintegrasikan pemilihan Presiden dan Wakil Presiden, anggota Dewan Perwakilan Rakyat (DPR), Dewan Perwakilan Daerah (DPD), Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD) kabupaten/kota dalam satu hari pemungutan suara, merupakan amanat dari Putusan Mahkamah Konstitusi (MK) Nomor 14/PUU-XI/2013. Tujuan awal dari keserentakan ini adalah untuk memperkuat sistem presidensial dengan memastikan koherensi antara eksekutif dan legislatif di tingkat nasional.

Namun, implementasi keserentakan penuh ini tidak luput dari berbagai problematika yang menjadi refleksi dan tantangan serius dalam penyelenggaraan pemilu. Salah satu isu krusial yang teridentifikasi adalah beban kerja yang sangat berat bagi penyelenggara pemilu, terutama petugas di Tempat Pemungutan Suara (TPS). Adanya "impitan tahapan" atau tahapan yang berhimpitan antara pemilu nasional dan pemilihan kepala daerah (pilkada) menyebabkan "tumpukan beban kerja penyelenggara pemilu" yang berpotensi menimbulkan "kelelahan petugas di TPS" dan pada akhirnya "menurunkan kualitas penyelenggaraan pemilu". Data konkret menunjukkan dampak kemanusiaan yang tragis, dengan 894 petugas ad hoc meninggal pada Pemilu 2019 dan 289 orang pada Pemilu 2024, mengindikasikan beban kerja yang tidak manusiawi. Selain itu, keserentakan juga dianggap mempengaruhi pelembagaan partai politik dan menggeser fokus pembangunan daerah, yang cenderung tenggelam oleh isu-isu nasional.  

Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 135/PUU-XXII/2024, yang diumumkan pada 26 Juni 2025, hadir sebagai respons fundamental terhadap permasalahan keserentakan pemilu tersebut. Putusan ini membagi penyelenggaraan pemilu secara nasional dan daerah, dengan tujuan "mengoptimalkan hal-hal ideal dalam pemilu, baik dari sisi pengaturan waktu, desain keserentakan, maupun desain penyelenggaranya". Komisi Pemilihan Umum (KPU) sendiri menyambut baik putusan ini, mengapresiasinya sebagai "langkah menuju pemilu yang lebih ideal" dan upaya untuk "memperkuat kualitas pemilu". Keputusan ini menunjukkan bahwa intervensi yudisial dapat menjadi bentuk reformasi sistemik, terutama ketika dihadapkan pada kegagalan sistem yang memiliki konsekuensi kemanusiaan yang signifikan. Mahkamah, dalam hal ini, bertindak untuk memperbaiki sistem yang terbukti tidak berkelanjutan dan memakan korban jiwa, menyoroti kecenderungan pengadilan konstitusi untuk mengambil peran lebih aktif dalam mengatasi disfungsi sistemik yang berdampak pada hak-hak fundamental. 

Putusan MK No. 135/PUU-XXII/2024 berakar dari permohonan uji materiil yang diajukam oleh Yayasan Perkumpulan untuk Pemilu dan Demokrasi (Perludem) permohonan ini secara spesifik menggugat sistem pemilu serentak "lima kotak suara" sebagaimana diatur dalam Undang-Undang (UU) Pemilu dan UU Pilkada. Pemohon berpendapat bahwa model tersebut melemahkan pelembagaan partai politik, menghambat penyederhanaan sistem kepartaian, serta menurunkan kualitas kedaulatan rakyat dan profesionalitas penyelenggara pemilu. Namun, putusan MK yang memisahkan jadwal pemilu nasional dan pemilu daerah justru memunculkan sejumlah persoalan baru yang kompleks.

Pertama, putusan ini dinilai berpotensi melanggar Pasal 22E Undang-Undang Dasar 1945 (UUD 1945) yang mengamanatkan pemilu untuk DPR, DPD, DPRD, Presiden, dan Wakil Presiden dilaksanakan setiap lima tahun sekali. Kritik juga muncul atas inkonsistensi Mahkamah karena sebelumnya melalui putusan serentak, MK justru menegaskan integrasi waktu pemilu.

Kedua, pemisahan jadwal dapat menyebabkan desinkronisasi antara pemerintah pusat dan daerah, yang berdampak pada efektivitas pelaksanaan kebijakan strategis nasional akibat perbedaan afiliasi politik di tiap tingkat pemerintahan. Ketiga, alasan bahwa pemisahan waktu memberi ruang kaderisasi partai juga dipertanyakan. Bukti empiris menunjukkan tidak ada hubungan langsung antara panjangnya jeda waktu dengan kualitas rekrutmen politik. Sebaliknya, hal ini dapat memperkuat praktik patronase dan transaksi politik di kalangan elite partai.

Keempat, putusan ini memunculkan risiko kekosongan jabatan legislatif daerah, terutama menjelang 2029, karena belum adanya regulasi transisi yang mengatur masa jabatan hasil pemilu 2024. Situasi ini rawan disalahgunakan dan menciptakan sentralisasi kekuasaan melalui penunjukan pejabat kepala daerah yang rentan intervensi politik.

Kelima, putusan ini menimbulkan perdebatan tajam mengenai peran MK sebagai "positive legislator". Dengan memutus secara langsung desain waktu penyelenggaraan pemilu, MK dinilai telah melampaui kewenangan konstitusionalnya sebagai penguji norma, dan justru bertindak layaknya pembentuk undang-undang. Hal ini menciptakan ambiguitas fungsi lembaga yudikatif dan dapat mengganggu keseimbangan kekuasaan dalam sistem demokrasi konstitusional Indonesia. Dengan demikian, meskipun putusan ini dimaksudkan sebagai solusi atas persoalan sebelumnya, kenyataannya justru menciptakan tantangan baru yang tak kalah serius dan perlu ditangani dengan hati-hati secara hukum maupun kelembagaan.

Penting untuk dicatat bahwa Putusan MK Nomor 14/PUU-XI/2013 merupakan putusan yang sebelumnya menegaskan desain pemilu serentak, yang kemudian menjadi dasar pembentukan UU No. 7 Tahun 2017. Kehadiran Putusan MK Nomor 135/PUU-XXII/2024 menunjukkan adanya perubahan arah interpretasi MK terkait keserentakan pemilu. Kontras antara kedua putusan ini menyoroti sifat dinamis dan evolutif dari interpretasi konstitusi. Interpretasi terhadap ketentuan konstitusional, bahkan yang tampak jelas seperti "setiap lima tahun sekali" dalam Pasal 22E, bukanlah hal yang statis. Evolusi ini mencerminkan perubahan kebutuhan masyarakat, tantangan praktis, dan, mungkin, komposisi serta kecenderungan yurisprudensial Mahkamah itu sendiri. Perubahan ini, meskipun memungkinkan adaptasi hukum, juga dapat menimbulkan ketidakpastian hukum dan pertanyaan mengenai prediktabilitas kerangka hukum yang mengatur proses demokrasi fundamental. Ini menegaskan bahwa hukum konstitusi adalah instrumen yang hidup, namun dinamismenya juga dapat menjadi sumber perdebatan dan tantangan terhadap kepastian hukum.  

Putusan MK Nomor 135/PUU-XXII/2024 mencerminkan upaya korektif terhadap kompleksitas penyelenggaraan pemilu serentak yang selama ini menimbulkan beban teknis dan kemanusiaan. Dalam permohonan yang diajukan oleh Perludem, pemohon menekankan bahwa keserentakan lima kotak suara telah menurunkan kualitas demokrasi substantif, memperlemah kelembagaan partai, dan membebani penyelenggara. Namun, putusan MK yang memisahkan waktu pelaksanaan pemilu nasional dan daerah justru menciptakan problem baru, khususnya dalam aspek transisi kekuasaan dan sinkronisasi sistem pemerintahan. Kasus ini juga menggarisbawahi persoalan kelembagaan MK, karena perubahan tafsir yang signifikan dari putusan sebelumnya menimbulkan pertanyaan akan konsistensi yurisprudensi. Terlebih, MK tidak hanya menyatakan norma bertentangan dengan UUD, tetapi sekaligus merumuskan desain waktu penyelenggaraan pemilu ke depan, yang memicu kritik atas peran Mahkamah sebagai "positive legislator".

Secara konstitusional, putusan ini dipersoalkan karena dianggap bertentangan dengan Pasal 22E UUD 1945 yang mengatur pemilu diselenggarakan setiap lima tahun untuk seluruh tingkatan. Kritik dari tokoh-tokoh politik seperti Ahmad Muzani (Gerindra) dan perwakilan NasDem menggarisbawahi adanya ketidaksesuaian antara isi putusan dan amanat konstitusi serta menunjukkan inkonsistensi MK terhadap putusan sebelumnya yang justru mewajibkan pemilu serentak. Dalam aspek politik, pemisahan jadwal pemilu dinilai berisiko menciptakan desinkronisasi antara pemerintah pusat dan daerah. Kepala daerah terpilih bisa jadi berasal dari jalur atau partai yang berbeda dengan Presiden, sehingga menghambat implementasi kebijakan strategis nasional akibat fragmentasi loyalitas politik dan lemahnya koordinasi lintas level pemerintahan.

Selain itu, alasan MK bahwa jeda waktu pemilu memberi ruang untuk kaderisasi politik juga dipertanyakan. Secara empiris, panjangnya masa jeda tidak menjamin peningkatan kualitas rekrutmen politik, melainkan membuka ruang lebih luas bagi elite partai untuk melakukan negosiasi transaksional yang memperkuat patronase, sebagaimana dijelaskan dalam teori oligarki oleh Robert Michels. Putusan ini juga menghadirkan persoalan serius terkait masa transisi, karena belum ada kejelasan hukum soal status jabatan DPRD yang masa baktinya habis pada 2029, berpotensi menciptakan kekosongan kekuasaan dan membuka ruang intervensi politik dalam penunjukan penjabat. Pengalaman sebelumnya menunjukkan bahwa penunjukan Pj Kepala Daerah cenderung mengabaikan prinsip demokrasi lokal dan justru memperkuat sentralisme kekuasaan.

Argumen Mahkamah mengenai kejenuhan pemilih dan kelelahan penyelenggara juga menuai kritik. Data partisipasi pemilih pada Pemilu 2024 justru meningkat hingga 82%, menandakan antusiasme publik yang tetap tinggi. Kejenuhan politik diyakini lebih berkaitan dengan rendahnya kualitas substansi politik, bukan soal frekuensi pemilu. Sementara beban kerja penyelenggara memang perlu ditangani serius, solusinya bukan semata-mata memisahkan jadwal pemilu, melainkan memperkuat kelembagaan pemilu, meningkatkan pendidikan politik, dan mewujudkan keadilan fiskal antara pusat dan daerah.

Putusan ini berdampak langsung pada desain pemerintahan daerah dan kualitas demokrasi elektoral. Pemisahan jadwal pemilu menciptakan kekosongan jabatan kepala daerah selama dua tahun sebelum pelantikan serentak pada 2027. Penunjukan Penjabat (Pj.) dalam skala nasional dan jangka waktu yang panjang membuka ruang intervensi politik pusat, yang berpotensi melemahkan prinsip demokrasi lokal dan otonomi daerah. Ketiadaan regulasi transisi yang spesifik dan menyeluruh mengenai masa jabatan Pj., mekanisme evaluasi, dan akuntabilitas kinerja semakin memperparah situasi ini.

Selain itu, pemisahan pemilu dapat memperkuat fragmentasi politik antara pemerintah pusat dan daerah. Perbedaan afiliasi politik antara kepala daerah dan Presiden bisa menurunkan efektivitas koordinasi kebijakan strategis nasional, serta meningkatkan potensi konflik kepentingan dalam pelaksanaan program pembangunan lintas sektor. Desentralisasi yang tidak ditopang oleh sinkronisasi politik dan administratif justru dapat menjadi hambatan dalam tata kelola pemerintahan yang efektif. Dari sisi kualitas demokrasi, anggapan bahwa pemisahan waktu akan mendorong kaderisasi partai belum terbukti secara empiris. Justru, terdapat kecenderungan penguatan dominasi elite partai dan praktik patronase dalam proses pencalonan. Hal ini mengindikasikan bahwa perubahan desain pemilu tidak serta-merta memperbaiki kualitas demokrasi tanpa reformasi kelembagaan yang lebih dalam.

Sebagai tindak lanjut atas Putusan MK Nomor 135/PUU-XXII/2024, diperlukan langkah strategis untuk mengatasi dampak hukum dan tata kelola yang ditimbulkan. Pemerintah, DPR, dan penyelenggara pemilu perlu segera menyusun regulasi transisi yang mengatur masa jabatan dan penunjukan Penjabat (Pj.) Kepala Daerah secara akuntabel dan terbatas waktunya. Di saat yang sama, sinkronisasi antara pusat dan daerah dapat diperkuat melalui forum koordinasi dan insentif kebijakan. Reformasi partai politik juga menjadi krusial, dengan memperkuat kaderisasi dan menindak praktik transaksional. Dari sisi teknis, pemilu terpisah membutuhkan perencanaan logistik yang lebih realistis, pemanfaatan teknologi digital, serta perlindungan bagi petugas lapangan. Terakhir, pembatasan kewenangan MK sebagai positive legislator perlu dikaji melalui revisi undang-undang, disertai evaluasi berkala dan edukasi publik untuk menjaga kualitas demokrasi ke depan.

Referensi:

Anggi Muliawati. ( 2025, Juli 04). KPU: Survei Tunjukkan Kejenuhan Politik Saat Pilkada-Pemilu di Tahun yang Sama. Diakses melalui https://news.detik.com/berita/d-7995310/kpu-survei-tunjukkan-kejenuhan-politik-saat-pilkada-pemilu-di-tahun-yang-sama Pada hari Minggu, 06 Juli 2025 Pukul 10.50 WIB

Musonif Afandi. ( 2025, Juli 05). Memisahkan Pemilu: Penguatan Demokrasi atau Manuver Struktural. Diakses melalui https://news.detik.com/kolom/d-7996157/memisahkan-pemilu-penguatan-demokrasi-atau-manuver-struktural Pada hari Minggu, 06 Juli 2025 Pukul 10.55 WIB

ANTARA. ( 2025, Juli 01). Putusan MK soal pemisahan pemilu masih dalam tugas konstitusional. Diakses melalui https://www.antaranews.com/berita/4935593/putusan-mk-soal-pemisahan-pemilu-masih-dalam-tugas-konstitusional Pada hari Minggu, 06 Juli 2025 Pukul 11.10 WIB

Dr. Nanang Al Hidayat, S.H., M.H. ( 2025, Juli 02). Mahkamah Konstitusi dari Negatif Legislator Menjadi Positif Legislator (studi kasus Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 135/PUU-XXII/2024). Diakses melalui https://iaksetihsetio.ac.id/mahkamah-konstitusi-dari-negatif-legislator-menjadi-positif-legislator-studi-kasus-putusan-mahkamah-konstitusi-nomor-135-puu-xxii-2024/ Pada hari Minggu, 06 Juli 2025 Pukul 11.20 WIB

Muhammad Iqbal Amar & Ahmad Naufal Dzulfaroh. (2025, 29 Juni). MK Putuskan Pemilu Nasional dan Daerah Dipisah, Apa Dampaknya? Diakses melalui  https://www.kompas.com/tren/read/2025/06/29/170000765/mk-putuskan-pemilu-nasional-dan-daerah-dipisah-apa-dampaknya-?page=all Pada hari Sabtu, 05 Juli 2025 Pukul 23.30 WIB

Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indonesia - Komisi III. (2025, 5 Juli). Putusan MK Terbaru Tentang Pemilu Timbulkan Dilema Konstitusional. Diakses melalui JDIH DPR RI https://jdih.dpr.go.id/berita/detail/id/57398/t/Putusan%2BMK%2BTerbaru%2BTentang%2BPemilu%2BTimbulkan%2BDilema%2BKonstitusional pada hari Minggu, 06 Juli 2025 Pukul 00.13 WIB


Posting Komentar

0 Komentar