PENEGAKAN HUKUM SEBAGAI KOMPAS DALAM TUNTUTAN PEMAKZULAN WAKIL PRESIDEN OLEH PURNAWIRAWAN TENTARA NASIONAL INDONESIA

 

            Tuntutan pemakzulan Wakil Presiden Republik Indonesia Gibran Rakabuming Raka yang diajukan oleh Forum Purnawirawan Tentara Nasional Indonesia pada pertengahan April 2025 mengundang perdebatan serius ditengah masyarakat akhir-akhir ini. Usul pemakzulan Wakil Presiden tersebut dilandasi oleh pendapat forum bahwa kelayakan Gibran sebagai pemimpin negara bisa dipermasalahkan dari saat pencalonanya sebagai Wakil Presiden. Selain itu dugaan pelanggaran terhadap hukum acara Mahkamah Konstitusi serta kekuasaan kehakiman dalam proses pencalonannya di Pemilihan Presiden 2024 juga memperkuat tuntutan ini.  

            Direktur Parameter Politik Indonesia, Adi Prayitno menyatakan bahwa “setiap rezim pasti ada kelompok-kelompok tertentu tidak puas dengan kinerja pimpinan, entah itu Presiden atau Wakil Presiden. Jadi itu merupakan perkara yang biasa”. Jadi setiap keluhan ataupun keresahan yang diutarakan dari siapapun merupakan kebebasan berpendapat dan berekspresi setiap orang. Namun yang perlu dipertanyakan saat ini, apakah tuntutan ini sah secara hukum, atau sekadar ekspresi ketidakpuasan politik semata? Berdasarkan Pasal 7B Ayat (1) Undang-Undang Dasar 1945 dapat kita ketahui bahwa mekanisme formal pemakzulan dapat dilakukan dengan memerlukan langkah yang cukup ketat.

            Dimulai dengan Dewan Perwakilan Rakyat harus mengajukan permintaan kepada Mahkamah Konstitusi untuk dapat memeriksa dan memutus dugaan pelanggaran. Diiringi dengan Mahkamah Konstitusi memutuskan apakah pelanggaran tersebut terbukti benar adanya. Terakhir, jika terbukti benar, Majelis Permusyawaratan Rakyat mengadakan sidang untuk memutuskan apakah Presiden/Wakil Presiden telah melakukan pelanggaran hukum berupa pengkhianatan terhadap negara, korupsi, penyuapan, tindak pidana berat lainnya, atau perbuatan tercela dan/atau  pendapat bahwa Presiden dan/atau wakil Presiden tidak lagi memenuhi syarat sebagai Presiden. 

            Berdasarkan alur tersebut, proses pemakzulan terhadap Presiden atau Wakil Presiden di Indonesia adalah proses yang cukup kompleks dan membutuhkan dukungan mayoritas yang ada di parlemen, yaitu 2/3 suara anggota Dewan Perwakilan Rakyat sehingga sulit dicapai dengan komposisi partai politik yang ada di Indonesia saat ini. Meskipun proses pemakzulan sudah diatur secara hukum, namun proses ini akan lebih didominasi oleh faktor politik dan membutuhkan kesepakatan politik yang sulit dicapai, kecuali dalam situasi khusus seperti adanya pelanggaran hukum yang terbukti oleh Mahkamah Konstitusi.

            Sesuai dengan yang disampaikan oleh pakar Hukum Tata Negara, Feri Amsari yang menilai bahwa langkah yang diambil Purnawirawan TNI belum tepat secara ketatanegaraan. Relevan dengan fakta yang ada saat ini, tuntutan pemakzulan Wakil Presiden sayangnya belum memenuhi dasar hukum formal, dikarenakan tidak ada proses legislasi di Dewan Perwakilan Rakyat yang dimulai, tidak adanya pembuktian di Mahkamah Konstitusi dan tuduhan yang diajukan bersifat opini politis, bukan pelanggaran hukum formal. Sehingga perlu dipertanyakan, apakah tuntutan tersebut berbasis fakta hukum atau kepentingan politik/non-yuridis?  

            Kesimpulannya, kebebasan berpendapat dan demokrasi tetap ditegakkan, namun jika hukum diabaikan maka akan menjadi risiko politisasi militer dan preseden buruk bagi negara kita sendiri. Dimana akan ada preseden berbahaya yang membuat kelompok tertentu merasa berwenang atau semena-mena untuk menuntut sesuatu tanpa mekanisme hukum. Selain itu akan terjadi destabilisasi politik yang dikarenakan oleh  menurunnya kepercayaan masyarakat terhadap konstitusi. Pemakzulan bukanlah alat politik yang dapat digunakan sesuka hati, melainkan mekanisme konstitusional yang rigid dan perlu dipertimbangkan dengan hati-hati. Jika setiap perbedaan sikap dianggap sebagai pelanggaran, maka ditakutkan nantinya negara akan terjebak dalam moral populisme yang rentan dipolitisasi. 

            Oleh karena itu, solusi yang paling tepat adalah kembali berpedoman kepada hukum sebagai pilar utama. Jika ada pelanggaran, maka seharusnya didorong untuk ditegakkan melalui jalur hukum formal. Menegaskan bahwa demokrasi membutuhkan kedewasaan, bukan reaksi emosional. Tuntutan pemakzulan Wapres boleh diajukan, tetapi hukum harus menjadi satu-satunya panduan. Jangan biarkan demokrasi dikendalikan oleh narasi sepihak tanpa pembuktian hukum. Aparat hukum dan DPR serta seluruh masyarakat harus turut serta dalam memastikan proses tetap obyektif.  


Posting Komentar

0 Komentar