VICTIM IMPACT STATEMENT: BENTUK PERLINDUNGAN TERHADAP HAK-HAK KORBAN YANG TERCIDERAI

Perkembangan teknologi informasi dan komunikasi telah mengalami kemajuan yang sangat pesat dan meluas. Teknologi ini kini digunakan secara luas untuk berbagai kebutuhan dalam kehidupan manusia, menjadikannya salah satu aspekpenting dalam mendukung berbagai aktivitas sehari-hari. Manfaat dari perkembangan teknologi ini sangat signifikan. Salah satu keuntungan utama adalah pertukaraninformasi yang menjadi jauh lebih cepat dan efisien. Teknologi ini jugamempermudah proses transaksi jual beli, baik dalam skala kecil maupun besar, sertamenyediakan berbagai media hiburan yang dapat diakses dengan mudah oleh masyarakat.

Teknologi informasi dapat meningkatkan kemajuan dalam pandangan hidup manusia, namun juga bisa sebagai sarana melakukan tindak kriminal hukum yang dikenal sebagai “cybercrime”. Cyber crime sendiri merupakan setiap aktivitas seseorang, sekelompok orang, badan hukum yang menggunakan komputer sebagai sarana melakukan kejahatan, atau menjadikan komputer sebagai sasaran kejahatan. Semua kejahatan tersebut adalah bentuk-bentuk perbuatan yang bertentangan dengan peraturan perundang-undangan, baik dalam arti melawan hukum secara material maupun melawan hukum secara formal.

Penggunaan teknologi kecerdasan buatan ini juga diterapkan dalam bidang hiburan. Salah satunya adalah subset turunan dari penggunaan teknologi kecerdasan buatan yang sedang ramai diperbincangkan oleh banyak orang di dunia saat ini yaitu Deepfakes. Berkembangnya Deepfakes ini tentunya membawa dampak positif dan negatif sekaligus. Hal tersebut memunculkan dinamika perkembangan kejahatan berupa revenge porn. Revenge porn atau balas dendam porno adalah “bentuk pemaksaan, ancaman terhadap seseorang, umumnya perempuan, untuk menyebarkan konten porno berupa foto atau video yang pernah dikirimkan kepada pelaku”. Revenge porn dilakukan dengan tujuan agar korban dapat dipermalukan, dikucilkan dan dihancurkan kehidupannya. Pelaku revenge porn ini biasanya orang yang dekat dengan korban seperti orang dekat, pacar atau mantan pacarnya yang biasanya ingin kembali atau orang lain yang tidak bias diidentifikasi.

Pelecehan seksual merujuk pada tindakan yang dilakukan secara sengaja untuk mengintimidasi, merendahkan, mempermalukan, atau menyerang seseorang secara seksual. Tindakan ini dapat melibatkan komentar seksual yang tidak diinginkan atau tidak pantas, serta rayuan fisik di berbagai konteks seperti tempat kerja atau pertemuan profesional dan sosial lainnya. Perbedaan utama antara pelecehan seksual dan perilaku lain adalah adanya unsur kerelaan atau consent dari individu yang terlibat. Artinya, tindakan tersebut menjadi masalah ketika dilakukan tanpa persetujuan dari korban. Di era disrupsi digital saat ini, kasus pelecehan seksual sering kali terungkap ke publik melalui media dan jejaring sosial. Meskipun begitu, banyak kasus yang tidak mendapatkan penyelesaian yang memadai.

Korban pelecehan seksual, serta orang-orang di lingkungan sosial mereka, sering kali merasa bahwa kasus tersebut merupakan aib yang harus disembunyikan. Perasaan malu dan stigma ini dapat menyebabkan gangguan stres pasca-trauma jika korban tidak mendapatkan dukungan atau penanganan yang tepat. Dalam konteks ini, penting untuk memastikan adanya penanganan yang sensitif dan efektif untuk membantu korban mengatasi dampak psikologis dari pelecehan seksual.

Dalam sistem hukum positif di Indonesia, korban tindak pidana belum memperoleh perhatian yang serius. Hal ini dibuktikan dengan sedikitnya hak-hak korban tindak pidana yang diatur dalam perundang-undangan.Terutama pada korban kekerasan seksual. Padahal Korban adalah pihak yang paling menderita akibat dari suatu tindak pidana atau kejahatan. Keberadaan dari Peraturan Perundang-undangan tentang korban pada prinsipnya memiliki ruang lingkup yang sempit. Karena tidak dapat diimplementasikan pada setiap perkara, melainkan hanya untuk perkara tertentu. Maka menyababkan peran korban menjadi pasif dalam hukum acara pidana Indonesia

Tentunya dalam kejahatan dunia maya (cybercrime), seseorang (pelaku) yang telah melakukan tindakan melanggar hukum tentunya harus bertanggung jawab atas kerugian yang dilakukannya dan juga bertanggung jawab atas kerugian yang diakibatkan atas kelalaian atau kurang kehati-hatiannya. Pelaksanaan suatu hak dan kewajiban hukum selalu menuntut adanya terlaksana suatu bentuk tanggung jawab hukum. Hans Kelsen juga berpendapat bahwa konsep dalam kewajiban hukum itu berhubungan dengan konsep pertanggungjawaban hukum. Maka dari itu seseorang memiliki keharusan bertanggung jawab secara hukum atas perbuatan tertentu, dimana dia membawa tanggung jawab hukum yang berarti dia bertanggung jawab atas akibat dari perbuatannya.

Meskipun regulasi terkait Ravange Porn ataupun penyalahgunaan data pribadi menggunakan Deepfakes untuk keperluan Revenge Porn ini telah diatur di dalam sejumlah regulasi seperti UU ITE, UU DPD, dan UU Pornografi, namun dalam memenuhi pemulihan hak korban belum diatur dengan begitu jelas. Tiadanya perhatian pada si korban, yang dewasa ini disebut sebagai “an essential part of criminal law policy decicions”, dapat mengurangi partisipasi masyarakat dalam penanggulangan kejahatan, menimbulkan perasaan isecurity dan lebih buruk lagi dapat mendorong inisiatif pribadi untuk melakukan pembalasan, baik dilakukan secara perorangan maupun dalam bentuk “vigilante groups”.

Victim impact statement dapat menjadi pertimbangan dalam criminal juctice system sebagai upaya untuk memberikan perlindungan terhadap korban revenge porn. Pelaku tidak cukup hanya dipidana penjara tetapi bagaimana upaya pelaku untuk memulihkan kembali korban karena masa depannya sudah hancur akibat penyebaran foto atau video korban yang melanggaran nilai kesusilaan dan penyebabkan trauma bagi korban dan berdampak pada depresi yang dialami oleh korban. Korban juga perlu mendapatkan rehabilitasi berupa layanan psikologis, dan rehabilitasi psikososial untuk menghilangkan trauma bagi korban revenge porn.

Saat ini victim impact statement belum diterapkan secara detail dalam hukum positif di Indonesia. Sehingga perlu ada pembaharuan dalam hukum positif untuk dapat secara konkrit mengatur victim impact statement sebagai upaya untuk dapat lebih memberikan perlindungan hukum terhadap korban kejahatan khususnya revenge porn karena memiliki dampak besar pada psikologis korban dengan harapan munculnya keadilan restorative yang bersifat memperbaiki dan memulihkan hubungan pelaku dan korban sehingga harmoni kehidupan tetap terjaga.

Dalam sistem peradilan pidana, perhatian utama cenderung terfokus pada pelaku kejahatan. Hal ini dapat dilihat dalam Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP), yang mayoritas mengatur tentang hak-hak pelaku kejahatan, sementara hak-hak korban sering kali kurang mendapatkan perhatian yang memadai. Akibatnya, korban sering kali tidak mendapatkan perlindungan atau hak-hak yang seharusnya mereka terima, seperti hak untuk mendapatkan keadilan, restitusi, atau dukungan selama proses peradilan. Oleh karena itu, perlu adanya penekanan pada perlunya reformasi dalam sistem peradilan pidana untuk memberikan perhatian lebih pada hak-hak korban. Hal ini penting agar keadilan tidak hanya ditegakkan untuk pelaku kejahatan, tetapi juga untuk korban yang menderita akibat tindakan kriminal tersebut.

Hak-hak korban sudah diatur dalam Undang-Undang tersendiri yakni Undang-undang No. 13 Tahun 2006 tentang Perlindungan Saksi Korban juncto Undang-Undang No. 31 Tahun 2014 tentang Perubahan atas Undang- Undang No. 13 Tahun 2006 tentang Perlindungan saksi dan korban. Namun, Hak-hak korban yang diatur masih terbatas pada tindak pidana tertentu saja, yakni tindak pidana terorisme, narkotika, dan pelanggaran HAM berat.

Victim Impact Statement sebenarnya adalah sebuah metode yang memberikan kesempatan berupa penyampaian pernyataan yang oleh korban dan/atau keluarga korban kepada hakim baik secara lisan maupun tertulis yang berisikan informasi atas dampak yang dialami korban secara fisik, emosional, psikologis, hingga finansial atas terjadinya suatu Tindak Pidana. Victim Impact Statement ini menggambarkan apa saja akibat langsung yang diterima korban sebagai dampak dari tindak pidana yang ia alami dan sekaligus membantu hakim dalam mempertimbangkan hukuman sebelum menjatuhkan vonis bagi terdakwa.

Victim impact statement dapat menjadi pertimbangan dalam criminal juctice system sebagai upaya untuk memberikan perlindungan terhadap korban revenge porn. Pelaku tidak cukup hanya dipidana penjara tetapi bagaimana upaya pelaku untuk memulihkan kembali korban karena masa depannya sudah hancur akibat penyebaran foto atau video korban yang melanggaran nilai kesusilaan dan penyebabkan trauma bagi korban dan berdampak pada depresi yang dialami oleh korban. Korban juga perlu mendapatkan rehabilitasi berupa layanan psikologis, dan rehabilitasi psikososial untuk menghilangkan trauma bagi korban revenge porn.

Victim impact statement dapat menjadi pertimbangan hakim untuk menanyakan apa yang sebetulnya menjadi keinginan korban sehingga dapat menjadi pertimbangan dalam menjatuhkan hukuman terhadap pelaku kejahatan revenge porn untuk diterapkan dalam sistem peradilan di Indonesia. Saat ini victim impact statement belum diterapkan secara detail dalam hukum positif di Indonesia. Sehingga perlu ada pembaharuan dalam hukum positif untuk dapat secara konkrit mengatur victim impact statement sebagai upaya untuk dapat lebih memberikan perlindungan hukum terhadap korban kejahatan khususnya revenge porn karena memiliki dampak besar pada psikologis korban dengan harapan munculnya keadilan restorative yang bersifat memperbaiki dan memulihkan hubungan pelaku dan korban sehingga harmoni kehidupan tetap terjaga.

Posting Komentar

0 Komentar