PRINSIP PRECAUTIONARY PRINCIPLE DALAM PENEGAKAN HUKUM TERHADAP TAMBANG PASIR ILEGAL

KASTRAT

    Pertumbuhan penduduk yang terus meningkat mendorong pula peningkatan kebutuhan terhadap sandang, pangan, papan, air bersih dan energi. Peningkatan kebutuhan ini menyebabkan terjadinya eksploitasi yang tinggi terhadap sumber daya alam. Manusia cenderung mengeksploitasi alam secara berlebihan, salah satunya yaitu kegiatan penambangan. Kegiatan ini dilakukan dengan tujuan untuk memenuhi kebutuhan hidup manusia. Eksploitasi alam yang berlebihan ini dapat berakibat pada kerusakan lingkungan.

    Kerusakan sumber daya alam terus mengalami peningkatan baik dalam jumlah maupun dalam bentuk wilayahnya. Kerusakan fisik tersebut disebabkan oleh tingginya eksploitasi yang dilakukan. Sehingga masalah lingkungan seperti pencemaran, kerusakan, dan bencana dari tahun ketahun tidak dapat dipungkiri. Kondisi tersebut menyebabkan menurunya kualitas lingkungan dan juga memberikan dampak yang sangat serius bagi kesehatan dan jiwa manusia.

   Jika kita mengacu pada data yang diperoleh oleh Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (selanjutnya disebut “ESDM”) pada tahun 2023, tercatat sebanyak 2.741 lokasi Pertambangan Tanpa Izin (selanjutnya disebut “PETI”) atau pertambangan ilegal di Indonesia. Adanya pertambangan ilegal atau pertambangan tanpa izin ini merupakan bentuk keserakahan para pengusaha yang ingin mengeruk keuntungan dari sumber daya alam yang ada tanpa memperdulikan masyarakat sekitar yang ikut mengalami kerugian dari tindakan tersebut. PETI setidak-tidaknya telah menimbulkan berbagai dampak negatif dimana PETI dapat menghambat atau setidak-tidaknya berpotensi untuk menghambat kegiatan usaha bagi pemegang izin resmi, membahayakan keselamatan masyarakat bahkan sampai menimbulkan korban jiwa.

    Melihat pada bagaimana banyaknya tambang ilegal yang masih meresahkan masyarakat tersebut, hal ini menjadi cerminan ketidakseriusan pemerintah Indonesia dalam memberantas tambang-tambang ilegal tersebut. Untuk itu, Indonesia harus kembali mengevaluasi tindakan yang telah dilakukan. Precautionary principle merupakan suatu prinsip hati-hati yang dapat digunakan sebagai sikap dalam mengevaluasi tindakan tersebut. Sebagaimana guiding yang termaktub dalam Pasal 3.3 UNFCCC, precautionary principle penting untuk dilaksanakan dalam setiap upaya mitigasi perubahan iklim. Hal tersebut harus diperhatikan agar setiap kebijakan yang dilakukan dapat menjadi efektif serta komitmen Indonesia dalam mengurangi emisi karbon untuk menurunkan dampak perubahan iklim dapat terealisasi dengan baik.

    Salah satu prinsip hukum dalam hukum lingkungan ialah Precautionary Principle atau lazim dikenal dengan prinsip kehati-hatian. Pada dasarnya prinsip lazim berkembang dan diterapkan di dalam hukum lingkungan. Secara umum, “precautionary principle dapat diartikan sebagai suatu prinsip tindakan kehati-hatian yang dilakukan sebelum timbulnya dampak”. Hal ini tentu sangat erat kaitannya dengan tindakan pemerintah serta dalam hubungannya dengan warga Negara. Prinsip kehati-hatian ini tentu menjadi suatu hal yang penting untuk menghindari kegagalan maupun kesalahan di dalam pengambilan suatu langkah maupun keputusan pemerintah. Hal ini disebabkan besarnya potensi kegagalan maupun kesalahan tersebut merugikan HAM warga Negara.

  1. Aktivitas Tambang Tanpa Izin
    Pertambangan Minerba dalam Pasal 33 ayat (3) Undang-Undang Dasar 1945 mengatur mengenai yang dikuasai oleh negara diantranya bumi, air, dan kekayaan alam yang terkandung di dalamnnya. Selanjutnya pengaturan pengelolaan pertambangan diatur dalam Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2009 dan di ubah dalam Undan-Undang Nomor 2 Tahun 2025 tentang Pertambangan Mineral dan Batu Bara. Selain itu aturan tentang pertambangan mineral dan Batu Bara juga diatur dalam Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2020 tentang Cipta Kerja yang menjelasakan “Usaha pertambangan sendiri dilaksanakan berdasarkan perizinan berusaha dari pemerintah pusat yang mana perizinan berusaha tersebut dilaksanakan melalui pemberian nomor induk berusaha, sertifikat standar dan juga izin”. Aturan teknis lebih lanjut terkait dengan pengelolaan Pertambangan diatur dalam Peraturan Pemerintah, Peraturan Presiden, Peraturan Menteri.

    Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2020 tentang Pertambangan Mineral dan Batubara menegaskan bahwa penguasaan atas sumber daya mineral dan batubara berada di tangan negara. Hal ini sebagaimana tertuang dalam Pasal 4 ayat (1), yang menyatakan bahwa pengelolaan sumber daya tersebut dilaksanakan oleh pemerintah pusat sesuai ketentuan perundang-undangan. Dalam pelaksanaannya, kegiatan pertambangan hanya dapat dilakukan oleh perusahaan yang telah memiliki izin resmi berupa Izin Usaha Pertambangan (IUP), Izin Pertambangan Rakyat (IPR), atau Izin Usaha Pertambangan Khusus (IUPK). Jika suatu perusahaan melakukan kegiatan pertambangan tanpa izin tersebut, maka dapat dikenai sanksi pidana berupa penjara maksimal 10 tahun dan/atau denda paling banyak Rp10.000.000.000 (sepuluh miliar rupiah), sebagaimana diatur dalam Pasal 37, Pasal 40 ayat (3), Pasal 48, Pasal 67 ayat (1), serta Pasal 74 ayat (1) dan (5).

Selain ketentuan mengenai izin, undang-undang ini juga mengatur sejumlah larangan dan sanksi pidana lainnya dalam bidang pertambangan. Pasal 158 menyebutkan bahwa setiap orang yang melakukan penambangan tanpa izin dipidana dengan penjara paling lama 5 tahun dan denda paling banyak Rp100.000.000.000 (seratus miliar rupiah). Sementara itu, Pasal 159 mengatur bahwa pelaku yang menyampaikan laporan atau data palsu dipidana dengan penjara paling lama 5 tahun dan denda maksimal Rp100.000.000.000. Untuk pemegang IUP Eksplorasi, Pasal 36A mewajibkan mereka melakukan kegiatan eksplorasi lanjutan setiap tahun serta menyediakan anggaran untuk pelaksanaannya. Selain itu, praktik pencucian barang tambang (mining laundering) juga merupakan tindak pidana yang dapat dijerat dengan Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2010 tentang Tindak Pidana Pencucian Uang. Dalam Pasal 3 undang-undang tersebut disebutkan bahwa pelakunya dapat dikenai pidana penjara paling lama 20 tahun dan denda paling banyak Rp10.000.000.000.000 (sepuluh triliun rupiah). Seluruh ketentuan ini menunjukkan komitmen negara untuk mengatur dan mengawasi kegiatan pertambangan secara ketat, guna menjamin pengelolaan sumber daya alam yang legal, adil, dan berkelanjutan.

2. Penerapan Prinsip Precautionary Dalam Pengawasan Tambang Ilegal di Indonesia

Prinsip kehati-hatian atau precautionary principle merupakan suatu pendekatan yang menekankan pentingnya tindakan pencegahan dalam melindungi lingkungan hidup. Prinsip ini bertujuan untuk menghindari terjadinya penurunan kualitas lingkungan yang diakibatkan oleh pencemaran atau kerusakan lingkungan, bahkan sebelum terdapat bukti ilmiah yang lengkap mengenai potensi bahaya tersebut. Prinsip ini berlandaskan pada pemikiran bahwa mencegah kerusakan lebih baik dan lebih efisien daripada memperbaikinya setelah terjadi. Deklarasi Rio tahun 1992, yang dihasilkan dalam Konferensi PBB tentang Lingkungan dan Pembangunan (UNCED) di Rio de Janeiro, Brazil, secara tegas mengakui pentingnya prinsip kehati-hatian. Dalam deklarasi tersebut disebutkan bahwa untuk melindungi lingkungan hidup, pendekatan kehati-hatian harus diterapkan secara luas oleh negara-negara sesuai dengan kemampuan masing-masing. Bahkan, jika terdapat ancaman kerusakan serius atau yang tidak dapat dipulihkan, maka kurangnya kepastian ilmiah tidak dapat dijadikan alasan untuk menunda tindakan yang hemat biaya demi mencegah degradasi lingkungan. Selain itu, laporan dari United Nations Economic and Social Commission for Asia and the Pacific (UN ESCAP) juga secara eksplisit menekankan bahwa untuk mencapai pembangunan berkelanjutan, kebijakan harus dibangun berdasarkan prinsip kehati-hatian. Dengan demikian, prinsip ini menjadi pedoman penting dalam pengambilan kebijakan lingkungan yang bertanggung jawab dan berorientasi jangka panjang.

    Kedua dasar tersebut diatas menunjukkan bahwa perlindungan hukum preventif serta prinsip kehatihatian sangat berkaitan dengan daya sumber mineral yang merupakan suatu kegiatan yang berpotensi menimbulkan dampak serius dan bahkan tidak dapat dipulihkan apabila terjadi suatu kegagalan dalam prakteknya yang tentunya dapat menyebabkan suatu kerugian yang besar bagi lingkungan hidup dan makhluk hidup sekitarnya. Oleh karena itu, diperlukan suatu kebijakan yang dapat mencegah terjadinya suatu kerugian yang berpotensi muncul dari aktivitas tambang ilegal yang dilakukan. Pencegahan yang dimaksud bukan dalam rangka melarang dilakukannya kegiatan, namun sebagai rambu-rambu dalam melaksanakan kegiatan tersebut sehingga potensi kerugian yang telah diperkirakan dapat dicegah.

REFERENSI

United Nation Economic and Social Comission for Asia and the Pasific, “Report of the United Nation Economic and Social Comission for Asia and the Pasific (UN ESCAP) Ministerial Meeting in the Environment.,” 1990, hlm. 8. 

Posting Komentar

0 Komentar