KEDAULATAN NASIONAL ATAS TRANSFER DATA PRIBADI WARGA INDONESIA KE AMERIKA DALAM KONTEKS KESEPAKATAN PENURUNAN TARIF DAGANG


 


    Kesepakatan penurunan tarif dagang antara Indonesia dan Amerika Serikat yang diprakarsai pada masa pemerintahan Presiden Donald Trump menjadi titik awal munculnya pembahasan terkait transfer data pribadi warga Indonesia ke Amerika. Dalam paket kebijakan yang bertujuan menurunkan bea masuk produk Amerika ke Indonesia, Amerika menuntut agar Indonesia memberikan akses lebih luas bagi perusahaan-perusahaan mereka, tidak hanya dalam bentuk tarif barang, tetapi juga dalam aspek ekonomi digital. Salah satu tuntutan utama adalah kelonggaran dalam pengaturan aliran data pribadi, yang selama ini masih dikontrol ketat oleh Indonesia. Dengan demikian, kesepakatan ini membuka pintu bagi arus data lintas batas yang lebih bebas, termasuk data warga Indonesia yang berpotensi dikelola oleh perusahaan Amerika di luar yurisdiksi nasional.
    Tekanan Amerika dalam negosiasi tersebut sejalan dengan strategi mereka untuk mengintegrasikan data digital ke dalam agenda perdagangan internasional, dengan mengutamakan prinsip kebebasan arus data lintas negara. Pendekatan ini mendukung dominasi perusahaan teknologi besar Amerika yang sangat bergantung pada akses global terhadap data pengguna. Sementara itu, Indonesia yang tengah berupaya memperkuat kerja sama ekonomi dan meningkatkan investasi asing, menghadapi dilema antara membuka akses pasar digital demi keuntungan ekonomi dan menjaga kedaulatan data warganya. Ketidakseimbangan posisi tawar serta kebutuhan mendesak untuk mendorong pertumbuhan ekonomi membuat Indonesia cenderung menerima tekanan tersebut, sehingga transfer data pribadi warga menjadi bagian dari kesepakatan penurunan tarif yang lebih luas.
    Indonesia sendiri menghadapi tekanan internal dan eksternal dalam menanggapi tuntutan akses data dari Amerika Serikat. Di satu sisi, pemerintah tengah berambisi menggenjot pertumbuhan ekonomi digital dan memperkuat investasi asing sebagai motor penggerak pembangunan nasional. Namun, di sisi lain, kerangka regulasi perlindungan data pribadi nasional, meski telah ada dengan disahkannya Undang-Undang Nomor 27 Tahun 2022 tentang Pelindungan Data Pribadi, Namun masih dalam tahap awal implementasi dan belum sepenuhnya matang untuk menghadapi tekanan global. Kondisi ini menyebabkan posisi tawar Indonesia relatif lemah dalam negosiasi, sehingga membuka kemungkinan terjadinya kompromi yang mengorbankan kedaulatan data warga negara demi mendapatkan keuntungan ekonomi jangka pendek. Kesepakatan yang mengizinkan aliran bebas data pribadi warga Indonesia ke Amerika Serikat berpotensi menggerus kedaulatan digital nasional. Dengan data yang tersimpan dan diolah di luar yurisdiksi Indonesia, pengawasan terhadap penggunaan dan perlindungan data menjadi sangat terbatas. Hal ini membuka peluang penyalahgunaan data oleh perusahaan asing maupun pihak ketiga yang beroperasi di Amerika, tanpa adanya mekanisme hukum yang kuat dari Indonesia untuk mengintervensi. Di samping itu, risiko kebocoran data, pelanggaran privasi, dan eksploitasi komersial semakin meningkat, sehingga berpotensi menimbulkan kerugian sosial dan ekonomi bagi masyarakat Indonesia.
    Undang-Undang Dasar 1945 secara eksplisit menjamin hak setiap orang atas perlindungan pribadi, keluarga, kehormatan, dan martabat. Pasal 28G UUD 1945 menyatakan setiap orang “berhak atas perlindungan diri pribadi…serta berhak atas rasa aman dan perlindungan dari ancaman”. Artinya privasi dan data pribadi warga negara adalah bagian dari hak asasi yang dilindungi konstitusi. Demikian pula, Undang-Undang Nomor 27 Tahun 2022 tentang Pelindungan Data Pribadi (UU PDP) menguatkan landasan tersebut. UU PDP berdasarkan Pasal 28G (dan 28H-28J) UUD 1945, menegaskan bahwa data pribadi warga harus dijaga keamanannya. Dalam UU PDP, transfer data pribadi ke luar negeri hanya boleh dilakukan jika penerima data memiliki tingkat perlindungan yang “setara atau lebih tinggi”. Jika tidak terpenuhi, harus ada jaminan perlindungan memadai dan mengikat. Mengingat kewajiban hukum itu, syarat transfer data ke AS patut dipertanyakan. LBH Pers menegaskan rekognisi AS sebagai “negara perlindungan memadai” tanpa standar jelas melanggar Pasal 56 UU PDP. Saat ini belum ada Peraturan Pemerintah yang mengatur kriteria penilaian perlindungan data, apalagi lembaga pengawas spesifik (BPDP) yang siap menindak pelanggaran. Tanpa payung hukum pasti, keputusan pemerintah menerima syarat tersebut berpotensi melanggar prinsip kehati-hatian dan Hak Privasi konstitusional. Bahkan LBH Pers menilai langkah ini bisa dianggap “pengkhianatan terhadap hak digital dan kedaulatan data warga negara Indonesia”, karena pada dasarnya data pribadi bukan komoditas dagang melainkan hak asasi milik individu.
    Kedaulatan negara atas wilayahnya – termasuk wilayah digital – merupakan prinsip hukum internasional mendasar. Pasal 1 ayat (2) UUD 1945 menjamin “kedaulatan berada di tangan rakyat, dan dilaksanakan menurut UUD”. Ini mengandung kewenangan bangsa RI mengendalikan kepentingan nasional, termasuk menjaga rahasia dan data warganya. Sementara itu, dalam Piagam PBB Pasal 2 ditegaskan prinsip non-intervensi dalam urusan dalam negeri. Tidak ada ketentuan internasional yang mewajibkan negara “menukar” data warganya demi akses pasar. Justru, dunia mengakui pentingnya kedaulatan data. Dalam konteks hukum perdagangan, Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2000 tentang Perjanjian Internasional mengharuskan DPR mengesahkan perjanjian yang menyangkut kedaulatan atau hak warga. Belum jelas apakah DPR terlibat dalam negosiasi tertutup ini. Praktik sepi konsultasi publik mencederai prinsip democratic oversight. Menurut ELSAM, kesepakatan macam ini menimbulkan imbas seperti skandal “Privacy Shield” UE-AS Mahkamah Eropa pernah membatalkan perjanjian perlindungan data dengan AS akibat kekhawatiran pengawasan. Kekhawatiran serupa timbul di Indonesia lembaga sipil memperingatkan bahwa tanpa mekanisme pengawasan independen, data WNI di AS bisa langsung terpapar FISA 702 (penyadapan ekstensif AS). Dengan konteks itu, kebijakan yang mengorbankan kontrol Indonesia atas data pribadi dikhawatirkan melemahkan kedaulatan digital nasional. Pakar keamanan data, Bhima Yudhistira (CSEL) menegaskan: “Jika terjadi kebocoran atau penyalahgunaan, penyelesaian masalah akan jauh lebih rumit jika data tersebut berada di negara lain”. Ini nyata bila server-data WNI ada di AS, yurisdiksi Indonesia sulit menindak. Kebijakan semacam ini ibarat merelakan “mata-mata asing” tanpa jaminan.
    Dari sisi kepentingan nasional, data pribadi warga adalah sumber kekayaan informasi dan keamanan. Menyerahkannya sama artinya mempermudah pihak asing menguasai pasar digital nasional dan mencek data strategis (pembayaran, kesehatan, administrasi publik). UU PDP menekankan pemroses data (pengendali dan prosesor) harus bertanggung jawab dan transparan, serta berkolaborasi internasional. Alihkan data massal kepada perusahaan atau pemerintah asing tanpa analogi diatur meruntuhkan tata kelola nasional. Pemindahan tersebut seolah meniadakan kedaulatan atas sistem informasi kita. Akibatnya, rakyat kehilangan kendali atas informasi pribadinya, melanggar amanat UUD 1945 yang melindungi keamanan individu. ika data dikelola asing, insentif perusahaan dalam negeri untuk inovasi bisa tergerus. Otonomi regulasi juga tercederai ketika yurisdiksi asing berlaku atas data kita. Inilah inti kedaulatan digital Negara berdaulat harus menegakkan hak privasi dan melindungi data warganya sesuai konstitusi, meski ada tekanan ekonomi.
    Menghadapi dilema ini, rekomendasi berikut diusulkan agar kedaulatan nasional dan hak warga terlindungi: 1) Sahkan dan Lengkapi Regulasi PDP dengan Tegas. Pemerintah wajib menerbitkan Peraturan Pemerintah turunan UU PDP yang menjabarkan standar “kesetaraan perlindungan data” secara detail. Bentuk segera Badan Pelindungan Data Pribadi (BPDP) independen yang menangani izin transfer data lintas negara serta mengawasi kepatuhan. Tanpa PP dan lembaga pengawas, Pasal 56 UU PDP belum berfungsi penuh. 2) Transparansi dan Pengawasan DPR. DPR RI (yang mewakili kedaulatan rakyat harus dilibatkan dalam pembahasan perjanjian ini. Lakukan uji kelayakan (“fit and proper test”) atas kesepakatan, dengan mendengar ahli hukum, hak asasi, dan teknologi. Rapat dengar pendapat publik dituntut untuk menampung aspirasi rakyat dan profesional. Setiap klausul kerahasiaan negosiasi harus dikaji ulang agar tidak merugikan publik. 3) Prinsip Akuntabilitas dan Hak Warga. Pastikan setiap transfer data mendapat persetujuan subjek data atau pengawasan hukum yang kuat. Jika AS diakui memiliki “proteksi memadai”, sertakan syarat: akses pengadilan Indonesia, hak gugat warga, dan hak audit independen. Harmonisasi UU PDP dengan sektor kesehatan, keuangan, telekomunikasi agar ada aturan baku ketika kesepakatan berlaku.
    Penetapan syarat transfer data pribadi WNI demi penurunan tarif impor AS mengandung risiko besar terhadap kedaulatan nasional. Menurut konstitusi dan UU kita, data pribadi adalah hak warga, bukan komoditas jual-beli. Kesepakatan perdagangan seharusnya mengayomi kepentingan rakyat, bukan mengorbankannya. Pemerintah harus menahan diri dan mengedepankan akal sehat hukum: berdiri teguh di atas mandat UUD 1945 dan UU PDP dalam semua negosiasi internasional. Jika perlu, revisi atau batalkan klausul merugikan itu. Hanya dengan demikian, Indonesia dapat menjaga martabatnya dan mencegah perampasan privasi warga secara terselubung. Kedaulatan digital harus dipertahankan data pribadi rakyat harus terjaga sepenuhnya sebagai bagian tak terpisahkan dari kedaulatan nasional.

Posting Komentar

0 Komentar