MENOLAK LOKALITAS SEBAGAI TIKET POLITIK

 


Oleh: Ibnu Raziq

Indonesia dikenal sebagai negara demokrasi yang menempatkan rakyat sebagai pemegang kedaulatan tertinggi. Hal ini tercermin dalam Pasal 1 ayat (2) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 yang menyatakan bahwa “Kedaulatan berada di tangan rakyat dan dilaksanakan menurut Undang-Undang Dasar.” Rumusan tersebut bukan sekadar deklarasi prinsip, melainkan landasan konstitusional bahwa rakyat memiliki peran utama dalam menentukan arah penyelenggaraan negara. Salah satu wujud nyata dari kedaulatan rakyat adalah hak untuk berpartisipasi dalam proses politik, baik sebagai pemilih maupun sebagai calon pemimpin. Dalam praktik demokrasi elektoral, prinsip kesetaraan menjadi kunci agar setiap warga negara memiliki peluang yang sama untuk terlibat dalam pemerintahan. Pasal 28D ayat (3) UUD 1945 pun menegaskan bahwa “Setiap warga negara berhak memperoleh kesempatan yang sama dalam pemerintahan.” Prinsip ini menjadi fondasi untuk menjamin bahwa kesempatan dalam pencalonan politik yang sering disebut sebagai tiket politik tidak hanya dimiliki oleh kelompok mayoritas atau daerah tertentu, melainkan terbuka bagi siapa pun yang memenuhi syarat konstitusional. Namun pada kenyataannya, faktor lokalitas sering kali menjadi penghalang konkret bagi tercapainya kesetaraan tersebut. Dinamika sosial, budaya, dan politik di tingkat daerah kadang menutup peluang individu tertentu untuk memperoleh tiket politik, sehingga semangat demokrasi yang diamanatkan konstitusi belum sepenuhnya terwujud.

Namun dalam praktiknya, semangat demokrasi elektoral ini kerap dibayangi oleh sentimen primordial berbasis lokalitas. Melansir dari detail.id 20 Januari 2020,  isu "putra daerah" kerap dimunculkan sebagai nilai jual politik menjelang Pilkada, dan bahkan dijadikan alat untuk membatasi dukungan terhadap calon dari luar daerah. Padahal, Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2016 tentang Pemilihan Gubernur, Bupati, dan Wali Kota, tidak pernah mensyaratkan bahwa calon kepala daerah harus berasal dari wilayah yang akan dipimpinnya. Ketika tiket politik mulai dikunci oleh asal kelahiran dan bukan oleh kapasitas, maka demokrasi elektoral yang seharusnya memberi ruang pada keadilan substantif justru dibajak oleh romantisme identitas yang menggerus esensi kedaulatan rakyat itu sendiri.

Fenomena "bajakan" demokrasi elektoral oleh romantisme identitas ini bukan sekadar "omongan belaka",  melainkan nyata dalam praktik Pilkada. Melansir dari tvonenews.com pada 9 September 2024, isu SARA, politik uang, dan netralitas ASN menjadi kategori kerawanan signifikan dalam Pilkada 2024, termasuk penggunaan sentimen lokalitas untuk mengotakkan dukungan pemilih. Tak hanya itu Jurnal Lemhannas RI Vol. 11 No. 2 tahun 2022 mencatat bahwa dalam Pemilihan Gubernur Sulawesi Tenggara 2018, peta dukungan masyarakat sangat dipengaruhi oleh asal etnis dan wilayah geografis masing-masing calon. mereka yang berasal dari wilayah daratan dan kepulauan saling memainkan identitas lokal untuk menarik simpati pemilih. Bahkan, Koordinator Divisi Penanganan Pelanggaran Bawaslu Kota Kendari, Awardin, secara terbuka menyatakan bahwa narasi “putra daerah” menjadi salah satu strategi yang sering digunakan dalam kampanye, dan berdampak pada menurunnya legitimasi politik calon yang berasal dari luar daerah. Situasi ini menunjukkan bahwa dalam praktik di lapangan, persepsi publik terhadap kelayakan calon kerap dibentuk bukan oleh gagasan atau rekam jejak, melainkan oleh daya jual identitas kesukuan dan kedaerahan. Di tengah semangat konstitusional tentang kesetaraan politik, fakta-fakta ini mencerminkan bagaimana nilai demokrasi elektoral yang inklusif dan meritokratis justru dikaburkan oleh romantisme identitas yang dilembagakan secara sosial.

Jika ditinjau dari sisi hukum positif, kecenderungan romantisme identitas yang membatasi ruang elektoral calon kepala daerah sebenarnya telah memiliki batasan normatif. Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2016 tentang Pemilihan Gubernur, Bupati, dan Wali Kota secara tegas memuat ketentuan yang mengatur etika dalam berkampanye. Pasal 69 huruf b dan c menyebutkan bahwa "pelaksana, peserta, dan tim kampanye dilarang melakukan kampanye yang menghina seseorang, agama, suku, ras, golongan, serta dilarang menyebarkan ujaran kebencian dan fitnah". Ketentuan ini secara implisit melarang strategi kampanye yang menggunakan sentimen “putra daerah” jika disertai dengan penolakan terhadap calon lain hanya karena latar belakang daerahnya. Namun dalam praktiknya, penegakan ketentuan ini seringkali tidak efektif. Banyak pelanggaran yang teridentifikasi di media sosial maupun forum kampanye terbuka, tetapi tidak semuanya diproses atau dijatuhi sanksi yang tegas oleh penyelenggara pemilu. Hal ini mencerminkan lemahnya political will dan ketidakkonsistenan dalam implementasi aturan hukum, sehingga ruang kampanye masih dibiarkan terbuka bagi narasi eksklusivitas berbasis lokalitas yang berpotensi diskriminatif.

Lemahnya political will dan ketidakkonsistenan implementasi aturan hukum dalam pengawasan kampanye Pilkada dapat dilihat dari minimnya langkah korektif yang diambil oleh otoritas terkait meskipun pelanggaran terjadi secara terbuka. Dalam banyak kasus, narasi eksklusivitas daerah disampaikan secara eksplisit di forum publik maupun media sosial, namun tidak serta-merta ditindak sebagai pelanggaran etika kampanye. Hal ini mengindikasikan adanya sikap permisif dari penyelenggara pemilu, baik karena tekanan politik, kepentingan lokal, atau kekhawatiran terhadap respons masyarakat yang masih menganggap isu “putra daerah” sebagai bagian dari budaya politik yang sah. Selain itu, mekanisme penindakan yang tersedia, baik melalui Panitia Pengawas Pemilihan (Panwaslu) maupun Sentra Penegakan Hukum Terpadu (Sentra Gakkumdu), kerap kali tidak berjalan optimal karena keterbatasan sumber daya, ketergantungan pada laporan formal, dan proses pembuktian yang memakan waktu. Akibatnya, ketentuan hukum yang seharusnya menjadi alat pengendali etika justru kehilangan daya paksa. Inkonsistensi ini tidak hanya menciptakan celah bagi pelanggaran berulang, tetapi juga mengikis kepercayaan publik terhadap netralitas lembaga pemilu. Jika dibiarkan, kondisi semacam ini berpotensi membentuk preseden buruk bahwa aturan hukum dalam kontestasi elektoral dapat dikompromikan demi membiarkan sentimen identitas terus menjadi alat legitimasi politik, yang justru melemahkan semangat kesetaraan dan substansi demokrasi itu sendiri.

Sementara itu, dari perspektif sosiologis, kecenderungan untuk memprioritaskan calon berdasarkan identitas kedaerahan dapat dijelaskan melalui teori primordialisme. Teori ini menyatakan bahwa manusia secara alami memiliki kecenderungan untuk berafiliasi dengan kelompok-kelompok sosial yang berbasis pada faktor-faktor seperti darah, bahasa, agama, dan tempat asal. Dalam konteks Pilkada, afiliasi ini sering kali dimobilisasi oleh aktor politik untuk membangun loyalitas emosional, meskipun tidak selalu rasional. Apabila orientasi elektoral semacam ini terus dibiarkan menguat, maka esensi demokrasi elektoral yang semestinya menilai calon berdasarkan integritas, visi pembangunan, dan kapasitas kepemimpinan akan semakin terkikis. Praktik semacam ini tidak hanya bertentangan dengan prinsip meritokrasi, tetapi juga mencederai asas keadilan politik yang menjadi salah satu pilar dalam penyelenggaraan negara demokratis. Kenyataan ini menunjukkan betapa kuatnya daya tarik identitas dalam ruang politik lokal, yang jika tidak dihadapi secara serius, akan terus meminggirkan kualitas dalam proses seleksi kepemimpinan.

Oleh karena itu, diperlukan langkah strategis untuk menolak lokalitas sebagai tiket politik dalam demokrasi di Indonesia yakni memperkuat regulasi internal partai politik dalam proses rekrutmen dan seleksi calon kepala daerah dengan menempatkan prinsip meritokrasi dan keterbukaan sebagai standar utama. Sebagai aktor dominan dalam penentuan tiket politik, partai politik memegang tanggung jawab moral dan konstitusional untuk tidak tunduk pada tekanan lokalitas yang mengaburkan penilaian objektif terhadap kualitas calon. Proses kaderisasi dan penjaringan harus diarahkan untuk mengedepankan integritas, kompetensi, serta visi pembangunan yang inklusif, bukan sekadar keterikatan emosional dengan suatu daerah. Komisi Pemilihan Umum dan Badan Pengawas Pemilu perlu diberi mandat yang lebih tegas untuk mengevaluasi keterbukaan dan akuntabilitas proses pencalonan di tingkat partai. Negara juga dapat mendorong pembenahan ini dengan menyediakan dukungan pembiayaan kampanye yang proporsional bagi calon yang diusung secara demokratis, terbuka, dan inklusif. Dengan memperbaiki sumber awal tiket politik melalui rekrutmen yang adil dan berbasis kualitas, maka dominasi lokalitas dalam demokrasi elektoral dapat dikoreksi dan ruang kepemimpinan daerah benar-benar menjadi milik rakyat, bukan semata-mata milik mereka yang lahir dan besar di sana.


Posting Komentar

0 Komentar