Genap dua tahun pasca peristiwa Thufaan Al-Aqsa pecah, hampir tiap harinya media massa menampilkan berita tentang konflik antara Israel dengan Palestina. Entah itu mengabarkan serangan yang dilancarkan, respons masyarakat dunia, hingga jumlah korban jiwa yang melayang. Konflik berdarah ini seakan tiada waktu untuk berakhir. Saking berdarahnya, masyarakat dunia menyebut konflik Israel-Palestina sebagai genosida. Alasannya jelas, karena orang-orang tak berdosa hingga bayi yang suci pun dibunuh oleh tentara Israel. Kejam, memang. Melihat hal itu, dunia terus mengharapkan perdamaian antara dua negara ini. Namun nyatanya, berbagai upaya damai tak pernah diindahkan oleh kedua pihak. Sebagai contoh, Peristiwa 7 Oktober 2023 yang merusak gencatan senjata Mei 2021, Hamas (kelompok militan beratribut Palestina) melancarkan “surprise attack” ke wilayah Selatan Israel, seperti Ashkelon, Ashdod, hingga Beer Sheva. Selain itu, ada juga gencatan senjata yang dilanggar oleh Israel pada awal hingga pertengahan 2025 ini, dan itu hanya dalam hitungan hari setelah perjanjian itu disepakati. Posisinya rakyat Gaza mendatangi rumah-rumah mereka hingga ke wilayah Utara Gaza (sebelumnya diluluhlantakkan Israel) sehingga tak ada waktu bagi mereka untuk mengungsi ke tempat aman.
Sejak awal dua negara ini dipisahkan setelah kemenangan Israel atas negara-negara Arab, ada banyak upaya yang dilakukan untuk mendamaikan keduanya. Sebagai contoh, Resolusi Dewan Keamanan Perserikatan Bangsa-Bangsa (DK PBB) Nomor 242 tentang hidup damai sesuai batas negara, Perjanjian Oslo untuk melindungi Tepi Barat dan Gaza, Perjanjian Camp David terkait kepemilikan Yerusalem, dan masih banyak lagi. Namun ujung-ujungnya, damai adalah fatamorgana. Konsep damai seakan tidak ada di dalam kamus hubungan kedua negara ini. Tak sampai di situ, berbagai usaha dilakukan dunia internasional mencari langkah tepat agar perdamaian Israel-Palestina dapat terealisasikan. Kemudian, muncullah gagasan Two-State Solution (solusi dua negara), yakni ide mengakui kedua negara tersebut sebagai negara berdaulat masing-masingnya. Akan tetapi, timbul kontroversi terhadap konsep solusi dua negara tersebut.
Mengulas
sedikit Pembukaan Undang-Undang Dasar 1945 (UUD 1945), dalam bingkai konstitusi
Indonesia menghendaki yang namanya penghapusan penjajahan dan menjaga
ketertiban dunia berdasarkan perdamaian abadi. Sebenarnya kedua ide tersebut
sejalan dengan solusi dua negara yang disebut sebelumnya. Namun, pemaknaan dua
ide dalam Pembukaan UUD 1945 tersebut menimbulkan multitafsir.
Mengulas
sedikit Pembukaan Undang-Undang Dasar 1945 (UUD 1945), dalam bingkai konstitusi
Indonesia menghendaki yang namanya penghapusan penjajahan dan menjaga
ketertiban dunia berdasarkan perdamaian abadi. Sebenarnya kedua ide tersebut
sejalan dengan solusi dua negara yang disebut sebelumnya. Namun, pemaknaan dua
ide dalam Pembukaan UUD 1945 tersebut menimbulkan multitafsir.
Pertama,
dengan menerapkan solusi dua negara, maka Palestina akan mencapai
kemerdekaannya, dikarenakan terpenuhinya syarat-syarat terbentuknya negara
dalam Pasal 1 Konvensi Montevideo bagi Palestina. Selama ini masalahnya ada
pada wilayah dan pemerintahan Palestina sebenarnya, di mana wilayahnya yang
tidak jelas patokannya (terutama di Tepi Barat), dan pemerintahan yang
mengalami dualisme (Fatah dan Hamas). Solusi dua negara akan menciptakan negara
Palestina merdeka dengan batas-batas yang jelas dan kepemimpinan negara merdeka
dari kesepakatan bersama. Dengan demikian, sirna penjajahan yang selama ini
dilakukan Israel.
Pandangan
pertama ini berpotensi ditolak oleh Palestina, karena mereka menganggap
merekalah yang berhak atas seluruh tanah Mediterania Timur itu berdasarkan
kitab-kitab agama dan bukti sejarah. Di lain sisi, Israel pun turut menolak,
karena kitab mereka (dianggap lebih tua dari kitab masyarakat Palestina) telah
menjanjikan tanah dari Danau Tiberias hingga Teluk Aqaba itu menjadi milik
mereka. Hal ini sejalan dengan prinsip Zionisme yang menghendaki kedatangan
Mesias (juruselamat umat Yahudi) harus disegerakan dengan sempurna di Tanah
Para Nabi, Yerusalem.
Pandangan
penuh penolakan terhadap konsep penghapusan penjajahan itu kemudian mampu
terakomodasi menurut pandangan kedua, yakni ide menjaga ketertiban dunia
berdasarkan perdamaian abadi. Ketika berbicara mengenai perdamaian, seyogyanya
ada dua pihak yang awalnya bersengketa, kemudian sengketa itu dihentikan dan
mendatangkan keuntungan bagi kedua pihak. Pandangan penghapusan penjajahan tadi
menekankan hanya Palestina yang dimerdekakan. Akan tetapi, pandangan kedua
justru menimbang adil posisi Israel maupun Palestina. Di satu sisi, kedua
negara sepakat berdamai dan hidup berdampingan sesuai konsep Two-State Solution, dan di sisi lainnya
kedua negara akan merasakan interaksi normal dengan negara-negara dunia (yang
sebelumnya dibatasi hak-hak mereka menjalin hubungan dengan negara lain).
Walau
terkesan kurang memihak kepada Palestina, tetapi sebenarnya jika berbicara
perdamaian, maka langkah ini yang tepat. Alasannya, kedua negara sama-sama
punya dasar hukum tersendiri. Ketika perbedaan hukum itu dipaksakan, maka akan
timbul lagi konflik seperti gagalnya upaya mediasi sebelum-sebelumnya. Selain
itu, Israel telah melegitimasi wilayah Mediterania Timur itu sejak lama
sehingga sulit untuk menyerahkan wilayah tersebut kembali ke Palestina. Maka
sekali lagi, ketika ingin diupayakan damai, satu-satunya cara adalah dengan
solusi dua negara ini, berdasarkan wilayah yang ada saat ini. Bayangkan jika
Israel diberikan kuasa penuh atas seluruh wilayah termasuk Tepi Barat dan Gaza,
itu namanya bukan perdamaian, tetapi pencaplokan. Jika Palestina diberi kuasa
penuh atas wilayah Israel sekarang dan Tepi Barat-Gaza, itu juga bukan
perdamaian, tetapi aneksasi. Pada dasarnya, perdamaian harus memenuhi dua
unsur, yakni dua/lebih pihak pada awalnya bersengketa, dan kemudian sengketa
tersebut selesai dengan memberikan keuntungan bagi pihak yang bersangkutan
(bukan salah satu saja).
Dengan
demikian, timbul pertanyaan, mau sampai kapan genosida ini bertahan? Tentu jika
kita punya sisi kemanusiaan, kita tidak ingin terus berlanjut. Maka dari itu,
benarlah apa yang dikatakan oleh Presiden Prabowo. Indonesia akan mengakui
kedaulatan Israel, asalkan mereka mengakui kemerdekaan dan kedaulatan atas
Palestina terlebih dahulu. Ungkapan tersebut bukanlah mengkhianati konstitusi,
karena ini merupakan ungkapan yang bermakna menjaga ketertiban dunia atas dasar
perdamaian abadi. Palestina merdeka berkat dukungan antarnegara (termasuk
Indonesia), sedangkan Israel dapat menjalin hubungan antarnegara (termasuk
Indonesia) tanpa khawatir embargo dan penolakan.
Konklusinya,
Two-State Solution adalah langkah
yang tepat jika kita menginginkan perdamaian Israel-Palestina. Konsep dua
negara ini juga sejalan dengan amanat konstitusi bangsa Indonesia. Pandangan
kontra terhadap ide ini adalah mereka yang menolak konsep perdamaian, karena
menguntungkan satu pihak saja itu namanya bukanlah perdamaian. Belajar dari
pengalaman, sejak awal kemenangan Israel dalam berbagai peperangan, tidak ada
satupun upaya damai yang terwujud sempurna, karena memang kedua negara ini
tidak dapat dipaksakan kehendak mereka masing-masing untuk memiliki daratan
Mediterania Timur itu. Maka dari itu, solusi dua negara adalah langkah tepat
yang sesuai dengan nilai konstitusional dan nilai internasional.
Untuk
memperkuat solusi dua negara ini, maka perlu dilengkapi dengan ketentuan Jalur
Damai Gaza-Tepi Barat agar pelaksanaannya berjalan sempurna, di mana mekanisme
ini diwujudkan dengan menyediakan jalan raya yang membentang dari ambang
terdekat Gaza hingga Tepi Barat. Hal ini dilakukan agar transportasi dari Gaza
ke Tepi Barat tidak terhalang oleh batas wilayah. Jalan raya ini difungsikan
sebagai lalu lintas damai yang diawasi oleh PBB dan dunia internasional. Jadi,
bukan hanya rakyat Palestina dan Israel saja yang dapat lewat, melainkan
masyarakat dari seluruh penjuru dunia tanpa terkecuali. Apabila solusi dua
negara direalisasikan dan diiringi dengan lalu lintas damai di darat, maka
dengan demikian, Palestina merdeka dan keluar dari jerat kolonial, Israel pun
‘merdeka’ dari penolakan dan kekangan internasional.

0 Komentar