REKONSTRUKSI TAPERA DALAM PERSPEKTIF KONSTITUSI: TINJAUAN STRATEGIS PASCA PUTUSAN MK NO. 96/PUU-XXII/2024

 


KASRAT

    Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2016 tentang Tabungan Perumahan Rakyat (UU Tapera) dibentuk dengan maksud untuk menghadirkan instrumen pembiayaan perumahan bagi warga negara, khususnya pekerja dan masyarakat berpenghasilan rendah, melalui skema “tabungan perumahan” yang sifatnya wajib. Fungsi UU Tapera menurut pembentukannya adalah menyediakan jaminan bahwa tersedia dana yang terkumpul lewat iuran peserta untuk kemudian dialokasikan dalam bentuk pembiayaan pembangunan rumah atau kredit perumahan agar masyarakat memperoleh hunian layak yang terjangkau. Dengan kata lain, UU Tapera diposisikan sebagai salah satu pilar dalam sistem penyediaan perumahan nasional, termasuk sebagai instrumen publik untuk mendukung pemenuhan hak atas tempat tinggal yang layak. UU tersebut juga dirancang agar bekerja sinergis dengan lembaga pengelola, yaitu Badan Pengelolaan (BP) Tapera, yang menjadi pengelola dana dan pelaksana program distribusi pembiayaan perumahan. Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2016 tentang Tabungan Perumahan Rakyat (UU Tapera) dibentuk dengan maksud untuk menghadirkan instrumen pembiayaan perumahan bagi warga negara, khususnya pekerja dan masyarakat berpenghasilan rendah, melalui skema “tabungan perumahan” yang sifatnya wajib. Fungsi UU Tapera menurut pembentukannya adalah menyediakan jaminan bahwa tersedia dana yang terkumpul lewat iuran peserta untuk kemudian dialokasikan dalam bentuk pembiayaan pembangunan rumah atau kredit perumahan agar masyarakat memperoleh hunian layak yang terjangkau. Dengan kata lain, UU Tapera diposisikan sebagai salah satu pilar dalam sistem penyediaan perumahan nasional, termasuk sebagai instrumen publik untuk mendukung pemenuhan hak atas tempat tinggal yang layak. UU tersebut juga dirancang agar bekerja sinergis dengan lembaga pengelola, yaitu Badan Pengelolaan (BP) Tapera, yang menjadi pengelola dana dan pelaksana program distribusi pembiayaan perumahan.

    MK dalam putusannya menyatakan bahwa norma Pasal 7 ayat (1) adalah “pasal jantung” (heart of the law) yang menopang keseluruhan skema Tapera. Karena norma inti itu dinyatakan bertentangan dengan konstitusi, maka norma-norma turunannya seperti Pasal 9 ayat (1) dan ayat (2), Pasal 16, Pasal 17 ayat (1) dan Pasal 72 ayat (1) pun secara logis turut terjatuh. MK menegaskan bahwa penggunaan istilah “tabungan” dalam UU Tapera telah digeser maknanya menjadi pungutan wajib, sehingga menyalahi esensi tabungan yang seharusnya bersifat sukarela. MK memandang bahwa aturan kewajiban iuran tanpa membedakan kondisi pekerja (misalnya pekerja yang sudah memiliki rumah) menimbulkan beban ganda dan ketidakadilan, serta bertabrakan dengan prinsip rasionalitas pengaturan dan asas proporsionalitas. MK juga mencermati bahwa sudah ada skema Jaminan Hari Tua (JHT) dalam sistem jaminan sosial, yang aspek pembiayaan perumahan bisa diintegrasikan atau sinergis, sehingga Tapera sebagai tambahan iuran wajib dapat menimbulkan duplikasi dan beban tambahan yang tidak dibenarkan. Karena itu, MK memutuskan bahwa seluruh UU Tapera harus dinyatakan inkonstitusional, memberikan tenggang waktu dua tahun agar pembentuk undang-undang menata ulang kerangka pendanaan, sistem pembiayaan, dan desain keikutsertaan yang bersifat sukarela atau dengan batasan tertentu. Berdasarkan keseluruhan pertimbangan hukum yang telah diuraikan sebelumnya, Mahkamah menilai bahwa ketentuan dalam Pasal 7 ayat (1), Pasal 9 ayat (1) dan ayat (2), Pasal 16, Pasal 17 ayat (1), serta Pasal 72 ayat (1) Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2016 telah menimbulkan kondisi yang tidak sejalan dengan prinsip kepastian hukum dan menciptakan perlakuan diskriminatif. Hal tersebut jelas bertentangan dengan jaminan konstitusional yang terdapat dalam Pasal 28D ayat (2), Pasal 28I ayat (2), dan Pasal 34 ayat (1) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, sebagaimana telah didalilkan oleh Pemohon dalam permohonannya. Mengingat Pasal 7 ayat (1) merupakan inti atau “jantung” dari Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2016, maka keberlakuan pasal tersebut menentukan keberlangsungan keseluruhan norma di dalam undang-undang dimaksud. Oleh karena itu, Mahkamah berkesimpulan bahwa Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2016 secara keseluruhan bertentangan dengan UUD NRI Tahun 1945. Dengan demikian, dalil-dalil yang diajukan Pemohon dinyatakan beralasan menurut hukum secara menyeluruhDalam telaah strategisnya, keputusan MK ini mengandung implikasi besar terhadap kebijakan perumahan, sistem jaminan sosial, dan hubungan negara-warga. Pertama, pembatalan kewajiban iuran membuka ruang untuk merancang ulang model pembiayaan perumahan publik dengan pendekatan sukarela, solidaritas, subsidi silang, atau skema insentif, sehingga beban tidak jatuh secara langsung pada pekerja dengan kewajiban memaksa. Kedua, pembentuk undang-undang harus memperhatikan integrasi antara program perumahan dan sistem jaminan sosial yang sudah ada, agar tidak terjadi overlap atau fragmentasi. Ketiga, harus ada mekanisme kompensasi dan jaring pengaman terhadap kelompok rentan (pekerja informal, warga miskin) agar akses perumahan tetap terjamin meskipun skema iuran wajib dihapus atau dimesrahi. Keempat, pemerintah dan DPR perlu melakukan harmonisasi antara prinsip hak atas perumahan, keadilan fiskal, dan keterjangkauan finansial rakyat dalam menyusun ulang undang-undang yang baru. Dalam jangka menengah, model pembiayaan perumahan nasional kemungkinan bergeser ke skema subsidi langsung, hibah, kemitraan publik-swasta, atau dana umum negara yang dikelola secara transparan. Putusan MK ini juga memperkuat posisi warga negara untuk menolak beban hukum yang dirasa tidak adil dan memaksa, sekaligus memperkuat fungsi kontrol konstitusional terhadap regulasi publik.

    Sebagai kesimpulan, pembatalan UU Tapera oleh Mahkamah Konstitusi merupakan langkah korektif yang penting dalam menjaga keseimbangan antara kewenangan negara untuk menyelenggarakan program sosial dan hak konstitusional warga negara. Fungsi UU Tapera sebagai instrumen pembiayaan rumah bagi rakyat tidak boleh dijadikan legitimasi untuk memaksakan beban iuran yang melampaui batas keadilan. Norma-norma problematik berupa kewajiban iuran dan sanksi administratif (Pasal 7 ayat (1), Pasal 9 ayat (1) dan ayat (2), Pasal 16, Pasal 17 ayat (1), serta Pasal 72 ayat (1)) telah terbukti inkonsisten dengan prinsip kebebasan, proporsionalitas, dan asas kepastian hukum dalam UUD 1945. Keputusan MK yang membatalkan UU Tapera sekaligus memberi waktu dua tahun untuk restrukturisasi regulasi menjadi peluang strategis agar pembentuk undang-undang merancang kerangka baru yang adil, berkelanjutan, transparan, dan menghormati hak-hak warga negara. Apabila revisi dilakukan dengan matang dan melibatkan partisipasi publik, maka regulasi perumahan 

REFERENSI

Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia. 2025. “UU Tapera Inkonstitusional Jika Tidak Ditata Ulang dalam 2 Tahun.” Diakses 2 Oktober 2025. https://www.mkri.id/berita/uu-tapera-inkonstitusional-jika-tidak-ditata-ulang-dalam-2-tahun-23845.

Kompas. 2025. “Setelah Kewajiban Ikut Tapera Dibatalkan MK.” Kompas, 1 Oktober 2025. Diakses 2 Oktober 2025. https://nasional.kompas.com/read/2025/10/01/09130341/setelah-kewajiban-ikut-tapera-dibatalkan-mk.

Antara News. 2025a. “Ini Isi Putusan MK soal Gugatan Uji Materi UU Tapera yang Dikabulkan.” Antara, 1 Oktober 2025. Diakses 2 Oktober 2025. https://m.antaranews.com/amp/berita/5145669/ini-isi-putusan-mk-soal-gugatan-uji-materi-uu-tapera-yang-dikabulkan.

Antara News. 2025b. “Ini Sejumlah Poin Penting yang Ada dalam UU Tapera.” Antara, 1 Oktober 2025. Diakses 2 Oktober 2025. https://m.antaranews.com/amp/berita/5145745/ini-sejumlah-poin-penting-yang-ada-dalam-uu-tapera

 

Posting Komentar

0 Komentar