Indonesia, yang
mengklaim dirinya sebagai negara hukum, sering kali terjebak dalam paradoks
antara idealisme hukum dan kenyataan praktik pemerintahan yang jauh dari
prinsip legalitas. Meskipun Pasal 1 ayat (3) Undang-Undang Dasar Negara
Republik Indonesia Tahun 1945 menegaskan negara ini dibangun di atas hukum,
kenyataannya hukum sering kali diperlakukan sebagai alat yang fleksibel untuk
memenuhi agenda tertentu. Diskresi, yang diberikan untuk mengatasi kekosongan
hukum atau ketidaklengkapan peraturan, telah berkembang menjadi celah yang
memungkinkan pejabat publik bertindak di luar batas kewenangan yang seharusnya.
Tanpa kontrol yang memadai, kebebasan ini sering disalahgunakan dalam konteks
pemberian izin pertambangan, reklamasi, dan pengadaan lahan, yang tidak hanya
merugikan rakyat, tetapi juga merusak tatanan sosial dan lingkungan yang ada.
Dalam hal ini, negara hukum Indonesia semakin tampak rapuh, gagal memastikan
bahwa kepentingan publik selalu diutamakan.
Penyalahgunaan
diskresi oleh pejabat pemerintah bukan hanya mencederai asas-asas hukum
administrasi negara, tetapi juga mengancam integritas pemerintahan dan
menciptakan krisis kepercayaan publik. Dalam jurnal karya Mustika Sari Muhsin
yang berjudul Kajian Yuridis Terhadap Penyalahgunaan Kewenangan Diskresi
oleh Pejabat Pemerintahan Menurut UU No. 30 Tahun 2014, dijelaskan bahwa
terdapat dua bentuk pertanggungjawaban atas penggunaan diskresi, yaitu tanggung
jawab jabatan dan tanggung jawab pribadi. Tanggung jawab jabatan berlaku
apabila diskresi dilakukan atas nama jabatan dan sesuai dengan kepentingan
umum. Sementara itu, tanggung jawab pribadi muncul apabila terdapat unsur
maladministrasi atau niat jahat, seperti penyalahgunaan kewenangan untuk
keuntungan pribadi yang berujung pada kerugian negara.
Permasalahan utama dalam penyalahgunaan diskresi terletak pada lemahnya kontrol internal dan eksternal terhadap tindakan pejabat pemerintahan. Meskipun telah diatur dalam Pasal 20 dan 21 UU Administrasi Pemerintahan serta PERMA No. 4 Tahun 2015 tentang Pedoman Beracara dalam Penilaian Unsur Penyalahgunaan Wewenang, mekanisme pengawasan oleh APIP dan Ombudsman belum berjalan maksimal. Kelemahan ini semakin diperparah oleh rendahnya transparansi pelaporan penggunaan diskresi dan belum optimalnya pelibatan masyarakat dalam proses pengawasan kebijakan administratif. Akibatnya, diskresi yang seharusnya menjadi solusi dalam kondisi genting malah berubah menjadi alat kekuasaan yang berpotensi koruptif.
Penyalahgunaan diskresi juga memiliki konsekuensi strategis yang luas. Selain melemahkan prinsip negara hukum dan asas-asas umum pemerintahan yang baik (AAUPB), tindakan ini menciptakan ruang bagi praktik korupsi, kolusi, dan nepotisme. Diskresi yang disalahgunakan membuka celah keuntungan pribadi atas nama kebijakan publik dan menciptakan ketimpangan sosial akibat kebijakan yang tidak adil. Dalam banyak kasus, penggunaan diskresi dalam pemberian izin tambang atau proyek besar lainnya dilakukan tanpa konsultasi publik, analisis lingkungan yang memadai, atau kajian hukum yang tepat. Hal ini tentu berpotensi mengabaikan hak masyarakat serta merusak lingkungan dan sumber daya alam secara masif.
Oleh karena itu, diperlukan upaya serius untuk menguatkan mekanisme pertanggungjawaban dan pengawasan terhadap penggunaan diskresi. Pertama, pelaporan dan dokumentasi tindakan diskresi harus dilakukan secara transparan, serta tersedia secara digital agar dapat diaudit publik. Kedua, peran APIP dan Ombudsman harus dioptimalkan melalui dukungan hukum dan kelembagaan yang kuat agar mampu menindaklanjuti setiap bentuk penyalahgunaan diskresi. Ketiga, pejabat pemerintahan perlu diberikan pelatihan rutin mengenai batasan diskresi dan etika pemerintahan berdasarkan prinsip-prinsip AAUPB. Keempat, keterlibatan masyarakat sipil dan media massa sebagai pengawas independen harus diperluas untuk memastikan diskresi tidak digunakan sebagai alat penyalahgunaan kekuasaan.
Dengan demikian, dapat disimpulkan
bahwa diskresi adalah instrumen hukum yang sah dan penting dalam tata kelola
pemerintahan. Namun, ketika diskresi digunakan tanpa prinsip kehati-hatian,
akuntabilitas, dan pengawasan yang ketat, maka ia akan menjelma menjadi celah
bagi tindakan sewenang-wenang dan korupsi. Penguatan hukum administrasi negara
dalam mengatur, membatasi, dan mengawasi diskresi merupakan kunci terciptanya
pemerintahan yang bersih, efektif, dan berorientasi pada kepentingan rakyat.
Implementasi prinsip good governance dan supremasi hukum harus menjadi
prioritas dalam setiap tindakan pemerintahan, agar kepercayaan masyarakat
terhadap negara tidak semakin terkikis.
REFERENSI
Supriyadi,
E. (2017). Diskresi pemerintah dalam penyelenggaraan pemerintahan. Jurnal
Manajemen Pemerintahan, 5(2), 125–136. https://ejournal.ipdn.ac.id/JMP/article/view/435/261
Mufid,
A. (2018). Problematika diskresi dalam sistem hukum administrasi negara
Indonesia. Neliti. https://media.neliti.com/media/publications/282098-problematika-diskresi-dalam-sistem-hukum-c1a034e7.pdf
Hukumonline.
(n.d.). Arti diskresi: Ruang lingkup, syarat, dan contohnya. https://www.hukumonline.com/klinik/a/arti-diskresi--ruang-lingkup--syarat--dan-contohnya-lt54b538f5f35f5/
Basah,
S. (1992). Perlindungan hukum atas sikap tindak administrasi negara.
Bandung: Alumni.
Utrecht.
(1988). Pengantar hukum administrasi negara Indonesia. Surabaya:
Pustaka Tinta Mas.
Tjandra,
W. R. (2009). Peradilan Tata Usaha Negara: Mendorong terwujudnya
pemerintahan yang bersih dan berwibawa. Yogyakarta: Universitas Atma Jaya.
0 Komentar