MENILIK IMBAS EKSKLUSIVITAS DAERAH TERHADAP DEMOKRASI ELEKTORAL


Demokrasi merupakan aspek fundamental dalam sistem pemerintahan Indonesia. Ini berarti bahwa kekuasaan tertinggi dalam pemerintahan Indonesia berasal dari rakyat, dijalankan oleh rakyat dan ditujukan untuk kepentingan rakyat. Demokrasi elektoral merupakan salah satu wujud nyata dari demokrasi itu sendiri. Demokrasi elektoral dijadikan sebagai arena dalam memilih pemimpin yang dapat mewakili hati nurani rakyatnya. Namun dalam prakteknya, demokrasi elektoral memiliki tantangan tersendiri, salah satunya terdapat eksklusivitas daerah. Hal ini mengakibatkan adanya pembatasan akses untuk seorang calon pemimpin daerah, dimana hanya warga yang lahir dan berdomisili di suatu daerah-lah yang memiliki hak untuk memilih dan dipilih sebagai pemimpin di daerah tersebut atau yang sering kita kenal dengan sebutan putra/putri daerah.

Banyak yang beranggapan bahwa eksklusivitas daerah dalam demokrasi elektoral mempunyai maksud agar daerah tersebut dipimpin oleh sosok yang benar-benar mampu menampung aspirasi dan memenangkan hati nurani masyarakat di daerah itu sendiri. Namun, jika kita merujuk pada konstitusi dalam Pasal 28D Ayat (3) UUD 1945 yang menerangkan bahwa setiap warga negara mempunyai kesempatan yang sama dalam pemerintahan. Hal ini berarti konstitusi tidak mengenal adanya pembatasan akses terhadap calon pemimpin suatu daerah yang hanya lahir dan berdomisili di suatu daerah tersebut. Jika kita mengacu pada Pasal 7 Ayat (2) Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2016 tentang perubahan kedua atas Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2015 tentang penetapan Perpu Nomor 1 Tahun 2014 tentang pemilihan gubernur, bupati, dan walikota menjadi Undang-undang. Tidak ada satu ketentuan pun yang mengatur bahwa syarat untuk menjadi pemimpin daerah itu harus lahir dan berdomisili di suatu daerah yang dipimpinnya. Dengan demikian, setiap warga negara berhak menjadi pemimpin suatu daerah walaupun ia terlahir di daerah lain, dengan catatan calon pemimpin suatu daerah tersebut harus memenuhi syarat yang ada dalam Pasal 7 Ayat (2) UU No. 10 Tahun 2016.  Adanya eksklusivitas daerah dalam demokrasi elektoral juga menyimpang Pasal 43 Undang-Undang Nomor 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia, dimana pasal ini menyatakan hak dipilih dan memilih dalam pemilihan umum merupakan hak semua warga negara yang berdasarkan persamaan hak melalui pemungutan suara yang langsung, umum, bebas, rahasia, jujur dan adil sesuai dengan peraturan perundang-undangan

Setiap orang pasti memilih pemimpin daerahnya dengan mempertimbangkan kelayakan, bukan darimana asalnya. Kelayakan ini dapat dilihat dari seberapa berdampak dan bermanfaatnya pemimpin terhadap daerah tersebut. Untuk apa mempunyai pemimpin daerah yang berasal dari putra/putri daerah jika pemimpin tersebut tidak mempunyai kepedulian dan tanggung jawab dalam membangun daerah yang dipimpinnya. Bisa kita lihat salah satu contoh yang ada di lapangan, mantan Bupati Kutai Kartanegara periode 2016-2021 yaitu Rita Widyasari yang merupakan putri daerah asli Kutai Kartanegara yang diberhentikan akibat tersandung masalah hukum akibat kasus gratifikasi. Lalu, mari kita melihat juga pemimpin DKI Jakarta pada periode 2017-2022, yang dipimpin oleh Anies Baswedan yang bukan merupakan putra daerah asli DKI Jakarta, melainkan beliau lahir di Kuningan, Jawa Barat. Namun, ia berhasil menjalankan tugasnya sebagai pemimpin daerah DKI Jakarta hingga periodenya habis.

Dari dua pemimpin daerah yang dijadikan contoh ini, dapat kita bandingkan bahwa tidak selalu putra/putri daerah itu dapat memimpin suatu daerah dengan penuh tanggung jawab dalam pembangunan daerah tersebut. Buktinya, pemimpin yang berasal dari luar daerah dapat membangun daerah tersebut dengan baik. Oleh karena itu, beberapa argumentasi masyarakat yang menyatakan pemimpin daerah itu harus putra daerah tidaklah dapat dibenarkan seluruhnya. Namun, bukan berarti putra/putri daerah tidak dapat memimpin tanah kelahiran mereka sendiri.


Posting Komentar

0 Komentar